Andre yang baru saja
menginjak usia tujuh tahun berlari-lari di sekitar tempat pembuangan akhir
sampah di sebuah pinggiran kota. Ia tidak tahu harus melakukan apa di sana.
Ibunya sedang bekerja. Andre tidak tahu, ibunya entah mengumpulkan sampah yang
seperti apa dan entah untuk apa barang-barang kotor itu dikumpulkan.
Langit senja menemani
Andre yang bermain-main sendiri hari itu. Ini hari pertamanya diajak ke tempat
kerja ibunya. Selama ini Andre hanya ditinggal sendirian di rumah kardus
dekat pinggiran sungai kumuh. Tidak banyak yang bisa Andre lakukan di sana. Ia
anak pertama, tidak memiliki abang atau kakak untuk bermain. Ia juga tidak
punya mainan, yang sebenarnya banyak anak-anak seusianya di belahan wilayah
lain sedang tertawa ceria tanpa beban karena memiliki banyak mainan dan tempat
tinggal yang layak.
“Ayo pulang nak, ibu
sudah selesai.” Ajak Ibunya seraya mendekati Andre yang berlari-lari di antara
tumpukan sampah. Andre hanya mengangguk sambil tersenyum dan mengikuti ibunya.
Mereka berjalan di trotoar. Jalanan padat oleh kendaraan. Sebentar lagi langit
akan menjadi gelap.
“Kita makan apa malam
ini, bu?” Andre bertanya polos.
“Andre mau makan apa?”
Tanya Ibunya lembut setengah cemas.
“Apa saja, asal makan
dengan ibu.” Jawab Andre pelan. Sang Ibu terharu. Ingin rasanya menangis saat
itu juga, tapi tidak mungkin.
Malam tiba. Langit hari
ini cerah sekali. Andre mendongak, berdiri diam menatap rembulan yang membulat
sempurna ditemani oleh beribu bintang yang entah membentuk formasi apa. Ibu
Andre melangkah ragu mendekati sebuah tempat makan kaki lima di pinggir jalan.
Dengan pakaian yang kumuh, orang-orang yang sedang makan otomatis menoleh,
memperhatikannya. Ia tidak menghiraukan orang-orang itu. Untung saja yang
menjual nasi tidak mengusirnya. Ibu Andre merelakan sepuluh ribu hasil jerih
payahnya hari ini untuk sebungkus nasi, mengisi perut yang sejak tadi pagi
belum terisi barang sesuap pun.
Saat Ibunya membeli
nasi, Andre hanya duduk menekuk lutut di depan sebuah toko yang sudah tutup
sambil terus menatap langit. Tiba-tiba saja pejalan kaki yang lewat melemparkan
selebaran uang seribu rupiah kepadanya. Awalnya Andre tidak mengerti. Tapi
setelah berpikir keras, ia teringat seorang tetangganya di kawasan kumuh yang
pekerjaaannya hanya duduk di depan sebuah pusat perbelanjaan dan orang-orang yang
lewat akan memberinya uang. Andre dikira mengemis di depan toko yang sudah
tutup ini.
“Hai, siapa namamu?”
Tiba-tiba saja ada seorang anak perempuan yang sepertinya sebaya dengan Andre
mendekat. Pakaiannya rapi. Rambut perempuan itu hitam, panjang, dan rapi. Ia
mengenakan gaun merah muda dan jepit rambut yang cantik. Sedangkan Andre
mengenakan baju kebesaran yang sudah robek di sana sini. Rambut Andre juga
tidak disisir rapi.
Andre hanya menatap
perempuan itu tanpa menjawab apa-apa.
“Namaku Putri. Kamu siapa?”
Tanya Putri ramah, tersenyum lebar.
“Andre,” jawabnya ragu.
“Kenapa kamu duduk
sendirian di sini?” Tanya Putri lagi.
“Nggak kok. Ibuku
sedang beli nasi.”
“Oh...kamu sekolah di
mana?”
Mendengar pertanyaan
itu ia sedikit tersinggung. Bulan lalu ibunya sudah menjelaskan bahwa belum
bisa menyekolahkannya tahun ini. Tapi Andre mengerti. Biarpun usianya masih
tergolong kecil, entah kenapa Andre bisa bersikap dewasa. Ia mengerti
kondisinya, kondisi ibunya. Bahkan tahun depan saja ia belum tentu bisa sekolah.
“Aku nggak sekolah...”
ujar Andre pelan.
Belum sempat Putri
menjawab, orang tuanya yang juga membeli nasi sudah memanggilnya. Putri pamit
dan berlari mendekati Ayahnya dan segera masuk ke dalam mobil. Andre hanya diam
menatap hal itu. Apakah yang berhak mempunyai mobil dan hidupnya enak itu
orang-orang tertentu saja?
Andre menghempaskan
helaan nafasnya. Beberapa detik kemudian ibunya sudah kembali dengan membawa
kantong plastik yang berisi sebungkus nasi. Andre langsung memberikan uang
seribu yang didapatnya dan menceritakan bagaimana ia bisa memperoleh uang itu.
Ibu Andre hanya tertawa. Mereka berjalan pulang dan begitu sampai, mereka
langsung menyantap nasi bungkus yang masih hangat itu. Untuk pertama kalinya,
Andre makan enak. Tidak peduli kalau anak-anak lain makan burger, kentang
goreng, pizza, atau berbagai makanan berkelas lainnya, bagi Andre, ini saja
sudah enak dan harus disyukuri.
***
Andre menangis
sejadi-jadinya. Seminggu setelah makan nasi bungkus perdana baginya, ibunya
dilaporkan sudah meninggal dunia, menyusul ayahnya. Ibunya ditabrak oleh
seorang pelajar SMA yang terlambat berangkat sekolah. Saat Ibu Andre
mengorek-ngorek tempat sampah di trotoar jalan raya, anak muda itu sedang
membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Begitu ia memotong jalan sebuah mobil
besar, ia tidak sempat menghindar karena ternyata di depannya ada sebuah mobil
sedan. Setir mobil dibantingnya dan menabrak ibu Andre.
Sungguh ironi, Andre
menjadi anak sebatang kara. Seorang polisi menyarankan tetangganya untuk membawa
Andre ke pantiasuhan. Andre menurut saja. Suaranya sudah serak karena terus
berteriak selama beberapa jam. Air matanya juga sudah terasa habis.
Andre kecil disambut
hangat oleh pemilik pantiasuhan di tengah kota. Hari pertama ia memang masih
tidak mau bicara dan hanya banyak diam daripada bermain bersama teman-teman
sebayanya. Tapi hari-hari berikutnya, saat ia berhasil untuk membujuk dirinya
sendiri, ia mulai menyatu dengan keluarga besarnya di pantiasuhan itu.
Berselang beberapa
bulan, ada seorang pengusaha kaya yang membuat perjanjian dengan pemilik
pantiasuhan. Anak-anak yang baru masuk, termasuk Andre, yang belum sekolah,
akan disekolahkan pada tahun ajaran baru. Andre senang sekali, meski ia tidak
mengerti apa yang diceritakan oleh kakak-kakak yang merawatnya. Ia tidak
mengerti apa maksudnya, yang jelas ia akan bersekolah.
“Andre mau jadi apa
kalau udah besar?” Tanya Rara, perawatnya.
“Mau jadi dokter...”
jawab Andre malu-malu.
“Kenapa?” Tanya Rara
lembut.
“Biar bisa ngobatin
orang.” Andre tertawa pelan.
Rara ikut tertawa,
bangga pada anak yang satu ini. Sejak di pantiasuhan, Andre bisa menonton
televisi, hal yang belum pernah dilakukannya sejak ia lahir. Ia banyak belajar,
selain mewarnai dan menggambar, ia juga diajarkan membaca Al Qur’an. Andre anak
yang pintar, ia berkembang dengan pesat. Saat diajarkan membaca, ia sudah jauh
mendahului teman-temannya. Ia bisa membaca buku pelajaran saat satu bulan
sebelum hari pertamanya bersekolah.
Tapi, bukankah setiap
pertemuan ada hikmahnya? Siapa yang menyangka, bahwa Putri akan kembali bertemu
dengan Andre? Andre yang kondisinya sudah jauh lebih baik malah kegirangan,
tertawa menyambut Putri dan keluarganya yang berkunjung untuk menyumbangkan
banyak hal.
“Putri masih ingat aku
nggak?” Andre cengar-cengir.
“Masih. Kok kamu bisa
di sini?”
“Nggak ngerti juga
kenapa aku diantar ke sini. Nggak penting kan?”
Putri tertawa. “Iya,
nggak penting.”
Hari itu Putri dan
keluarganya menyumbangkan buku-buku pelajaran dan buku-buku cerita yang masih
layak pakai milik kakak Putri yang sekarang sudah menjadi dokter di sebuah
rumah sakit di luar negri. Andre mengambil sebuah buku pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam dan membuka halaman pertama. Ada tulisan tangan dengan tinta
merah muda di sana. Andre mengeja huruf demi huruf di depan putri.
“Pri...Pris...Prisca?”
Andre menatap Putri bingung. Apa itu nama sekolah kakaknya Putri?
“Itu nama kakakku, Kak
Prisca. Kakak kuliah ke luar negri begitu tamat SMA dan sudah kerja di sana
sekarang.” Jelas Putri.
“kakakmu hebat, ya?”
Putri mengangguk,
tersenyum. Ia bangga pada kakaknya.
Saat Putri dan
keluarganya pamit untuk pulang, Putri mengatakan, “Aku akan sering-sering main
ke sini.” Andre hanya mengangguk, dan kemudian ia berlari ke ruang tengah,
tempat semua buku-buku yang disumbangkan diletakkan.
Rara mendekati Andre
yang duduk serius membaca buku IPA yang digenggamnya. “Serius sekali bacanya?”
Tanya Rara sambil tertawa.
“Kak, Andre serius.
Andre ingin jadi dokter, ingin jadi kayak Kak Prisca, yang punya buku ini.”
Rara hanya diam menatap
Andre yang matanya sudah berbinar-binar, pertanda ia benar-benar yakin pada
impiannya.
***
Sebulan setelah tahun
ajaran baru dimulai, Andre berkembang sangat pesat. Ia menangkap pelajaran di
sekolah dengan cepat, dan sangat aktif di kelas. Rara juga ikut senang
mendengar cerita guru sekolahnya. Tapi sayang, pengusaha yang menjanjikan
banyak hal itu terlibat sebuah kasus yang tidak Andre mengerti. Perusahaan
bapak itu bangkrut, dan Andre terancam putus sekolah saat masa-masa sekolahnya
sudah berjalan selama enam bulan.
“Kak, Andre cari uang
sendiri nggak apa ya? Pulang sekolah Andre langsung kerja, terus kalau tiap
hari dapat uang kan bisa ditabung, untuk keperluan sekolah.” Ujar Andre yakin
pada suatu hari saat sekolahnya libur semester.
Awalnya Rara hanya
diam. Setelah dipertimbangkannya bersama pemilik pantiasuhan, Andre
diperbolehkan melakukan apa yang ia inginkan. Andre diperbolehkan mencari
uang. Duhai, tidak adakah orang kaya di luar sana yang sadar bahwa di sisi
lain kekayaan mereka yang tidak terhitung itu ada anak yang sangat membutuhkan
uluran tangan untuk menggapai impiannya? Bukan hanya Andre, tapi lebih dari
seribu anak yang akan menjadi penerus bangsa beberapa tahun yang akan datang
membutuhkan uluran tangan itu.
***
Sepulang sekolah, Andre
langsung mengganti pakaiannya dan langsung bekerja. Ia mengikuti apa
yang dilakukan ibunya dulu, memulung. Dengan semangat yang membara, di tengah
terik matahari siang hari, ia mengumpulkan apa saja yang bisa ia jual kembali.
Saat ia merasa lelah, Andre duduk di pinggir jalan, meletakkan sampah yang
sudah dikumpulkannya, lalu membuka buku IPA milik kakaknya Putri. Ia minta izin
pada Rara agar buku itu menjadi miliknya, bukan milik bersama. Rara
memperbolehkan, dan Andre membawa buku itu ke mana-mana. Buku itu dirawat tanpa
sedikit tinta pena pun menggores nama Prisca. Andre yakin ia akan bisa menjadi
dokter, meskipun banyak hal yang harus ia hadapi.
Begitu ia tidak lagi
merasa lelah, ia berdiri dan kembali berjalan menelusuri tempat sampah yang
mungkin akan ada banyak barang-barang yang dicari olehnya. Iming-iming menjadi
dokter terus saja menguasai pikirannya.
Meskipun ia mengerti
tentang bagaimana kehidupannya, impian itu tidak pernah pudar. Sejak pertama
kali ia melihat tayangan televisi dan melihat sosok seorang dokter, Andre
langsung menetapkan cita-citanya, tujuan hidupnya, menolong orang-orang yang
membutuhkan pertolongannya. Meskipun Andre belum terlalu mengerti apa saja
tugas seorang dokter, yang jelas ia ingin sekali menolong orang, mengobati orang,
dan kalau bisa, ia akan memberikan pengobatan gratis pada orang-orang tidak
mampu.
“Masih kecil kok udah
mikir sampai sana?” Tanya Rara suatu malam sebelum Andre beranjak tidur.
Andre hanya tertawa,
lagi-lagi malu karena ditanya-tanya oleh Rara.
***
Uang yang dikumpulkan
Andre sudah lumayan banyak. Ia menabung setiap hari, dan Rara terus saja
melarangnya karena takut Andre jatuh sakit. Dan benar saja, Andre demam tinggi
dua bulan berikutnya dan dibawa ke rumah sakit. Di saat suhu badannya sudah
sangat tinggi, ia masih sempat tersenyum menyapa seorang dokter dengan
terbata-bata. Rara tak kuasa menahan tangis. Ia ke luar dari ruangan dan
membiarkan dokter memeriksa kondisi Andre.
Selesai berobat, Andre
merasa kepalanya masih sakit dan berat sekali diajak bergerak. Andre hanya bisa
tidur di kasur kamar. Rara sudah memberikan bubur hangat dan meminumkan obat
untuk Andre. Andre tidak bisa tidur. Entah kenapa tiba-tiba rasa sedih menjalar
di perasaannya, dan ia langsung menangis, reflek teringat ibunya. Andre meraih
buku IPA milik Prisca yang sejak awal sudah ada di sebelahnya. Andre menangis
sejadi-jadinya. Ia membcara nama Prisca yang tertulis di halaman pertama buku
itu. Antara membayangkan wajah ibunya dan membayangkan dirinya menjadi seorang
dokter, ia berkata pelan dalam hati, “Do’akan Andre, bu. Andre akan menjadi
anak yang sukses dan membanggakan, do’akan Andre bu...”
Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Februari 2013