Sunday, January 5, 2014

GURU BAK PELITA


Kita jadi bisa menulis dan membaca, karena siapa
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu, dari siapa
Kita jadi pintar dididik pak guru
Kita jadi pandai dibimbing bu guru
Gurulah bak pelita, penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara
Alunan lembut musik dan suara kelompok paduan suara terus mengalir merdu, terasa seperti embun yang menyejukkan. Dhani sedang berdiri di atas panggung di dalam ruangan sebuah hotel yang berkelas, menghadiri acara perpisahan SMA dengan perasaan campur aduk. Ia sedikit memicingkan mata, silau dengan sorot lampu yang sedari tadi tidak bergerak menjauh dari tubuhnya yang tinggi.
Dhani berdiri sambil sedikit nyengir, memberi senyum khasnya pada para guru, orang tua, dan teman-teman seangkatannya yang duduk menghadap panggung. Namanya baru saja dipanggil beberapa detik yang lalu. Dhani akan mendapat penghargaan dari sekolah karena sudah tidak terhitung lagi berapa kali ia memenangkan lomba ataupun olimpiade. Ia sedang menunggu orang tuanya yang dia sendiri pun tidak tahu di mana ayah atau ibunya duduk.
Seharusnya Dhani senang. Ia menekankan itu di dalam batinnya. Seharusnya ia merasa senang dan bangga, karena sekarang hanya ada dia disorot oleh lampu di atas panggung. Tapi suara nyanyian paduan suara dari sudut kanan ruangan menghantuinya. Sejak dulu, Dhani adalah jawara. Tidak di kelas ataupun di sekolah. Ia sudah pernah mengalahkan saingannya di antar kota atau provinsi, bahkan se Indonesia dan tingkat internasional. Tamat SMA mau lanjut ke mana? Jangan tanya. Dhani sudah mendapat beasiswa dalam ratusan ribu dolar Amerika, dan ia sudah diterima di salah satu universitas terkemuka di Negeri Paman Sam itu. Tapi, pernahkah ia berterima kasih untuk semua itu? Pernahkah ada di dalam hatinya rasa menghormati gurunya, yang sudah mendidiknya?
Dulu, ketika masih TK ataupun SD, Dhani tidak pernah merasa harus berterima kasih pada gurunya. Ia tidak tahu apa gunanya ia ke sekolah. Ia hanya tahu bahwa orang tuanya mendaftarkannya di SD favorit, karena memang harus seperti itu. Begitu selesai belajar di TK, orang-orang akan melanjutkan pembelajaran di SD. Itu sudah seperti siklus yang harus diikuti, pikir Dhani. Ia baru tahu bahwa ternyata ada orang-orang yang tidak sekolah saat kelas tiga SD. “Ternyata yang sekolah itu tidak semua orang.” Pikir Dhani saat itu. Namun itu hanya pemikiran ngawur anak-anak.
Sejak kecil Dhani memang cerdas, tapi kepandaiannya dalam mengolah angka dengan cepat dan menangkap pelajaran dengan mudah itu mulai berkembang saat SMP. Dhani melebihi teman-temannya karena ia suka membaca buku tebal. Buku yang seharusnya belum dibaca oleh anak seusianya. Akibatnya, Dhani menjadi lebih tahu. Keingintahuannya semakin bertambah seiring dengan berkembangnya isi buku yang dibacanya. Ia jadi paham berbagai pelajaran dengan buku, internet, dan menonton acara televisi yang semakin menambah ilmunya.
Saat SMA, orang-orang berpikiran bahwa ia tidak lagi perlu menunggu tiga tahun untuk kuliah. Dhani bisa langsung kuliah. Apa gunanya ia menunggu lama, sementara ia mampu. Pelajaran yang dianggap sulit oleh teman-temannya sudah tersimpan lama di dalam otaknya. Ia sudah mempelajari semua materi di SMA. Dhani hanya perlu mengasah kemampuannya dengan banyak latihan. Tapi orang seperti Dhani itu terlalu istimewa.
Biarpun Dhani suka membaca buku biologi yang berbahasa inggris ketika pelajaran matematika, ataupun mengerjakan soal fisika saat pelajaran sejarah, ia tidak pernah sombong pada teman-temannya. Bahkan ia mau berbagi isi kepalanya pada teman-temannya yang belum paham. Tapi sama saja, bahasanya terlalu tinggi untuk dipahami oleh mereka yang mendapat ranking tidak jauh dari kata ‘ranking terakhir’ di kelas.
Dhani? Guru-guru memang menyayanginya, tapi apakah ia pernah menyadari bahwa tidak ada rasa sayang di dalam hatinya untuk guru-gurunya? Seorang murid akan merasa sayang pada gurunya ketika ia merasa gurunya sudah membuat perubahan pada dirinya. Seperti Shinta, anak yang pada mulanya biasa-biasa saja. Meskipun tidak sehebat Dhani, namun ia semakin pandai memecahkan soal-soal fisika rumit yang dulunya terasa gelap baginya. Seorang guru telah membawanya ke luar dari kegelapan fisika. Ia sudah merasa fisika itu mudah, berkat cara mengajar seorang guru. Maka timbullah rasa sayang dan hormat itu dalam diri Shinta. Tidak hanya pada guru fisika itu, tapi pada semua guru yang sudah mendidik dan mengajarkan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia ketahui.
Berbeda dengan Dhani. Rasa sayang dan hormat itu mungkin tidak pernah ada, karena sejatinya apa yang diterangkan ataupun diajarkan oleh guru di sekolah sudah ia pahami sebelumnya. Jadi, apa yang dijelaskan oleh guru di sekolah tidak pernah mempengaruhi pemikirannya. Ilmunya seolah lebih luas dibanding para guru. Tidak jarang ia berdebat dengan guru jika ada kalimat guru yang dianggapnya bertentangan dengan teori apa atau hukum apalah namanya. Wajar, ia sudah mempelajari banyak hal secara mendalam.
Bahkan pada beberapa guru yang mengajaknya mengikuti lomba, berbagai olimpiade dengan bidang studi yang berbeda-beda. Padahal, jika guru-guru tidak menawarkan, tidak mengajaknya untuk ikut, seorang Dhani hanya akan dikenal di sekolahnya saja. Bukankah karena guru juga, ia dikenal oleh banyak orang? Bukankah karena guru juga namanya menjadi seorang idola di berbagai universitas tempat ia meraih juara? Meskipun ia berhasil karena hasil belajarnya sendiri, tapi sosok seorang guru tetap berperan dalam kesuksesannya sejauh ini.
Saat berbagai pemikiran aneh itu melintas di benak Dhani, kedua orang tuanya sudah menaiki panggung. Mereka bertiga disorot, dan tak lama kemudian kepala sekolah datang memberikan piagam penghargaan pada Dhani. Dhani menyalami kepala sekolah, tersenyum hormat. Kedua orang tuanya juga bersalaman dengan kepala sekolah, berterima kasih.
***
“Selamat Dhan.” Teman-teman sekelasnya merangkul, memeluk, atau sekedar menyalaminya saat Dhani kembali duduk di tempatnya, di deretan teman-teman sekelasnya.
“Tidakkah kalian terganggu dengan suara nyanyian itu?” Dhani tidak menghiraukan teman-temannya yang mengucapkan selamat. Ia hanya menatap sudut ruangan, memperhatikan kelompok paduan suara yang tidak berhenti menyanyikan lagu itu. Padahal Dhani sudah tidak di atas panggung lagi, tapi mereka terus menyanyikan lagu itu.
“Kenapa? Kau terharu karena lagu itu?” Shinta yang duduk di sebelahnya menjawab pelan.
“Ya, tiba-tiba aku merasa berterima kasih. Disaat yang bersamaan, aku juga merasa menjadi murid paling jahat.”
Shinta tertawa pelan di tengah gelapnya suasana. Hanya lampu di sekitar panggung yang dihidupkan. “Kau benar. Meskipun kau merasa guru-guru tidak pernah memberikan ilmu mereka, tidak pernah mengajarkanmu dan menyelamatkanmu dari ketidaktahuan, tapi mereka tetap berjasa untuk kesuksesanmu sejauh ini. Merekalah yang membuatmu ikut serta dalam berbagai olimpiade dan berbagai perlombaan yang kau menangkan itu.” Seperti bisa membaca pemikiran Dhani, Shinta berpendapat dengan suara pelan.
“Kau tahu? Aku sedang memikirkan itu. Dan yang lebih parah, bukankah jika aku tidak bisa membaca, aku tidak akan bisa sejauh ini? Lihatlah, apa kau sadar sewaktu kecil, orang tua ataupun kakak dan abang kita berbicara, membaca nama toko ataupun judul koran, dan kita menganggap huruf-huruf itu seperti gambar yang tidak terbaca. Meskipun sudah pandai bicara, tapi kita belum pandai membaca. Kita mengucapkan ‘ayah’ atau ‘ibu’ tanpa terpikir bagaimana tulisannya, bagaimana huruf-hurufnya. Kita berpikir kumpulan huruf-huruf di papan pertokoan atau tulisan-tulisan di koran seperti sesuatu yang menakutkan, menjengkelkan, dan tidak penting. Tapi begitu masuk SD, kita diajarkan membaca. Mungkin hanya beberapa orang yang seperti ini, tapi begitu pandai melafalkan huruf-huruf, aku langsung merasakan penasaran yang hebat. Setiap duduk di mobil dan diajak pergi ke luar rumah, aku tidak berhenti menangkap tulisan di toko atau bacaan pada spanduk yang terpasang di jalan. Padahal masih membaca dengan terbata-bata. Masih mengeja dengan ‘a-apo-apotek’. Aku tidak peduli kakak dan abangku protes kalau aku ini ribut minta ampun ketika melihat tulisan, karena aku sudah merasa ada hal yang berbeda begitu aku pandai membaca rangkaian huruf-huruf yang dulunya asing bagiku.”
Shinta tertawa begitu penjelasan panjang Dhani berakhir. Ia mempunyai pemikiran yang sama dengan Dhani. Sepertinya awal kesuksesan setiap orang itu adalah ketika mereka berhasil belajar membaca. Seperti sebuah penerang dalam kengerian buta huruf.
“Guru memang bak pelita.” Dhani tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca ketika nyanyian dari sudut ruangan berhenti. Ia merasa bodoh karena sikap dan pemikirannya selama ini. Memang tidak salah bahwa ia lebih banyak tahu karena ia mempelajari semua hal lebih dulu dan tidak mengikuti pelajaran disekolah, tapi ia merasa salah karena tidak pernah memiliki rasa berterima kasih pada guru-gurunya.
Shinta tersenyum, merasa senang ketika menyadari bahwa Dhani mulai menyesal karena telah tidak menganggap keberadaan guru di sekitarnya selama ini. “Penerang dalam gulita.” Sambung Shinta lirih.
“Aku harus menemui guru-guruku dari TK sebelum berangkat ke Amerika. Do’a mereka kan juga seperti tombak dalam pencapaian cita-citaku.”
Shinta menoleh, menatap bingung.
***
Tidak peduli apakah kau sudah di dalam perjalanan menggapai impian, atau baru akan bersiap untuk menggapai cita-cita. Apakah sudah menggapai kesuksesan atau masih akan menuju kesuksesan, selalulah bersyukur atas nikmat Tuhan, yang menjadikanmu seperti sekarang ini. Sayangilah keluarga, yang sudah mendukungmu hingga detik ini. Dan ingatlah jasa guru. Berterima kasihlah pada mereka. Mungkin saja, tanpa untaian kalimat panjang penjelasan mereka di dalam kelas, kau tidak menjadi dirimu yang sekarang ini.

Shinta mengetik semua itu dengan senyuman lebar, jemari yang lincah, dan perasaan semangat yang berkobar-kobar. “Dhani harus membaca ini.” Pikir perempuan itu dalam hati. Tidak lama setelah kalimat-kalimat yang menceritakan kisah Dhani itu selesai, Shinta mengirimkan cerita buatannya lewat e-mail pada Dhani yang entah sedang melakukan apa di negeri orang. Shinta tidak sabar menunggu komentar Dhani jika tahu cerita ini adalah kisah memalukannya yang seharusnya ditutupi.

Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh  Xpresi Riau Pos
Juni 2013