Kita jadi bisa menulis
dan membaca, karena siapa
Kita jadi tahu beraneka
bidang ilmu, dari siapa
Kita jadi pintar
dididik pak guru
Kita jadi pandai
dibimbing bu guru
Gurulah bak pelita,
penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara
Alunan lembut musik dan
suara kelompok paduan suara terus mengalir merdu, terasa seperti embun yang
menyejukkan. Dhani sedang berdiri di atas panggung di dalam ruangan sebuah
hotel yang berkelas, menghadiri acara perpisahan SMA dengan perasaan campur
aduk. Ia sedikit memicingkan mata, silau dengan sorot lampu yang sedari tadi
tidak bergerak menjauh dari tubuhnya yang tinggi.
Dhani berdiri sambil
sedikit nyengir, memberi senyum khasnya pada para guru, orang tua, dan
teman-teman seangkatannya yang duduk menghadap panggung. Namanya baru saja
dipanggil beberapa detik yang lalu. Dhani akan mendapat penghargaan dari
sekolah karena sudah tidak terhitung lagi berapa kali ia memenangkan lomba
ataupun olimpiade. Ia sedang menunggu orang tuanya yang dia sendiri pun tidak
tahu di mana ayah atau ibunya duduk.
Seharusnya Dhani
senang. Ia menekankan itu di dalam batinnya. Seharusnya ia merasa senang dan
bangga, karena sekarang hanya ada dia disorot oleh lampu di atas panggung. Tapi
suara nyanyian paduan suara dari sudut kanan ruangan menghantuinya. Sejak dulu,
Dhani adalah jawara. Tidak di kelas ataupun di sekolah. Ia sudah pernah
mengalahkan saingannya di antar kota atau provinsi, bahkan se Indonesia dan
tingkat internasional. Tamat SMA mau lanjut ke mana? Jangan tanya. Dhani sudah
mendapat beasiswa dalam ratusan ribu dolar Amerika, dan ia sudah diterima di
salah satu universitas terkemuka di Negeri Paman Sam itu. Tapi, pernahkah ia
berterima kasih untuk semua itu? Pernahkah ada di dalam hatinya rasa
menghormati gurunya, yang sudah mendidiknya?
Dulu, ketika masih TK
ataupun SD, Dhani tidak pernah merasa harus berterima kasih pada gurunya. Ia
tidak tahu apa gunanya ia ke sekolah. Ia hanya tahu bahwa orang tuanya
mendaftarkannya di SD favorit, karena memang harus seperti itu. Begitu selesai
belajar di TK, orang-orang akan melanjutkan pembelajaran di SD. Itu sudah
seperti siklus yang harus diikuti, pikir Dhani. Ia baru tahu bahwa ternyata ada
orang-orang yang tidak sekolah saat kelas tiga SD. “Ternyata yang sekolah itu
tidak semua orang.” Pikir Dhani saat itu. Namun itu hanya pemikiran ngawur
anak-anak.
Sejak kecil Dhani
memang cerdas, tapi kepandaiannya dalam mengolah angka dengan cepat dan
menangkap pelajaran dengan mudah itu mulai berkembang saat SMP. Dhani melebihi
teman-temannya karena ia suka membaca buku tebal. Buku yang seharusnya belum
dibaca oleh anak seusianya. Akibatnya, Dhani menjadi lebih tahu.
Keingintahuannya semakin bertambah seiring dengan berkembangnya isi buku yang
dibacanya. Ia jadi paham berbagai pelajaran dengan buku, internet, dan menonton
acara televisi yang semakin menambah ilmunya.
Saat SMA, orang-orang
berpikiran bahwa ia tidak lagi perlu menunggu tiga tahun untuk kuliah. Dhani
bisa langsung kuliah. Apa gunanya ia menunggu lama, sementara ia mampu. Pelajaran
yang dianggap sulit oleh teman-temannya sudah tersimpan lama di dalam otaknya.
Ia sudah mempelajari semua materi di SMA. Dhani hanya perlu mengasah
kemampuannya dengan banyak latihan. Tapi orang seperti Dhani itu terlalu
istimewa.
Biarpun Dhani suka membaca
buku biologi yang berbahasa inggris ketika pelajaran matematika, ataupun
mengerjakan soal fisika saat pelajaran sejarah, ia tidak pernah sombong pada
teman-temannya. Bahkan ia mau berbagi isi kepalanya pada teman-temannya yang
belum paham. Tapi sama saja, bahasanya terlalu tinggi untuk dipahami oleh
mereka yang mendapat ranking tidak jauh dari kata ‘ranking terakhir’ di kelas.
Dhani? Guru-guru memang
menyayanginya, tapi apakah ia pernah menyadari bahwa tidak ada rasa sayang di
dalam hatinya untuk guru-gurunya? Seorang murid akan merasa sayang pada gurunya
ketika ia merasa gurunya sudah membuat perubahan pada dirinya. Seperti Shinta,
anak yang pada mulanya biasa-biasa saja. Meskipun tidak sehebat Dhani, namun ia
semakin pandai memecahkan soal-soal fisika rumit yang dulunya terasa gelap
baginya. Seorang guru telah membawanya ke luar dari kegelapan fisika. Ia sudah
merasa fisika itu mudah, berkat cara mengajar seorang guru. Maka timbullah rasa
sayang dan hormat itu dalam diri Shinta. Tidak hanya pada guru fisika itu, tapi
pada semua guru yang sudah mendidik dan mengajarkan hal-hal yang sebelumnya
tidak pernah ia ketahui.
Berbeda dengan Dhani.
Rasa sayang dan hormat itu mungkin tidak pernah ada, karena sejatinya apa yang
diterangkan ataupun diajarkan oleh guru di sekolah sudah ia pahami sebelumnya.
Jadi, apa yang dijelaskan oleh guru di sekolah tidak pernah mempengaruhi
pemikirannya. Ilmunya seolah lebih luas dibanding para guru. Tidak jarang ia
berdebat dengan guru jika ada kalimat guru yang dianggapnya bertentangan dengan
teori apa atau hukum apalah namanya. Wajar, ia sudah mempelajari banyak hal
secara mendalam.
Bahkan pada beberapa
guru yang mengajaknya mengikuti lomba, berbagai olimpiade dengan bidang studi
yang berbeda-beda. Padahal, jika guru-guru tidak menawarkan, tidak mengajaknya
untuk ikut, seorang Dhani hanya akan dikenal di sekolahnya saja. Bukankah
karena guru juga, ia dikenal oleh banyak orang? Bukankah karena guru juga
namanya menjadi seorang idola di berbagai universitas tempat ia meraih juara?
Meskipun ia berhasil karena hasil belajarnya sendiri, tapi sosok seorang guru
tetap berperan dalam kesuksesannya sejauh ini.
Saat berbagai pemikiran
aneh itu melintas di benak Dhani, kedua orang tuanya sudah menaiki panggung.
Mereka bertiga disorot, dan tak lama kemudian kepala sekolah datang memberikan
piagam penghargaan pada Dhani. Dhani menyalami kepala sekolah, tersenyum
hormat. Kedua orang tuanya juga bersalaman dengan kepala sekolah, berterima
kasih.
***
“Selamat Dhan.” Teman-teman
sekelasnya merangkul, memeluk, atau sekedar menyalaminya saat Dhani kembali
duduk di tempatnya, di deretan teman-teman sekelasnya.
“Tidakkah kalian
terganggu dengan suara nyanyian itu?” Dhani tidak menghiraukan teman-temannya
yang mengucapkan selamat. Ia hanya menatap sudut ruangan, memperhatikan
kelompok paduan suara yang tidak berhenti menyanyikan lagu itu. Padahal Dhani
sudah tidak di atas panggung lagi, tapi mereka terus menyanyikan lagu itu.
“Kenapa? Kau terharu
karena lagu itu?” Shinta yang duduk di sebelahnya menjawab pelan.
“Ya, tiba-tiba aku
merasa berterima kasih. Disaat yang bersamaan, aku juga merasa menjadi murid
paling jahat.”
Shinta tertawa pelan di
tengah gelapnya suasana. Hanya lampu di sekitar panggung yang dihidupkan. “Kau
benar. Meskipun kau merasa guru-guru tidak pernah memberikan ilmu mereka, tidak
pernah mengajarkanmu dan menyelamatkanmu dari ketidaktahuan, tapi mereka tetap
berjasa untuk kesuksesanmu sejauh ini. Merekalah yang membuatmu ikut serta
dalam berbagai olimpiade dan berbagai perlombaan yang kau menangkan itu.”
Seperti bisa membaca pemikiran Dhani, Shinta berpendapat dengan suara pelan.
“Kau tahu? Aku sedang
memikirkan itu. Dan yang lebih parah, bukankah jika aku tidak bisa membaca, aku
tidak akan bisa sejauh ini? Lihatlah, apa kau sadar sewaktu kecil, orang tua
ataupun kakak dan abang kita berbicara, membaca nama toko ataupun judul koran,
dan kita menganggap huruf-huruf itu seperti gambar yang tidak terbaca. Meskipun
sudah pandai bicara, tapi kita belum pandai membaca. Kita mengucapkan ‘ayah’
atau ‘ibu’ tanpa terpikir bagaimana tulisannya, bagaimana huruf-hurufnya. Kita
berpikir kumpulan huruf-huruf di papan pertokoan atau tulisan-tulisan di koran
seperti sesuatu yang menakutkan, menjengkelkan, dan tidak penting. Tapi begitu
masuk SD, kita diajarkan membaca. Mungkin hanya beberapa orang yang seperti
ini, tapi begitu pandai melafalkan huruf-huruf, aku langsung merasakan
penasaran yang hebat. Setiap duduk di mobil dan diajak pergi ke luar rumah, aku
tidak berhenti menangkap tulisan di toko atau bacaan pada spanduk yang
terpasang di jalan. Padahal masih membaca dengan terbata-bata. Masih mengeja
dengan ‘a-apo-apotek’. Aku tidak peduli kakak dan abangku protes kalau aku ini
ribut minta ampun ketika melihat tulisan, karena aku sudah merasa ada hal yang
berbeda begitu aku pandai membaca rangkaian huruf-huruf yang dulunya asing
bagiku.”
Shinta tertawa begitu
penjelasan panjang Dhani berakhir. Ia mempunyai pemikiran yang sama dengan
Dhani. Sepertinya awal kesuksesan setiap orang itu adalah ketika mereka
berhasil belajar membaca. Seperti sebuah penerang dalam kengerian buta huruf.
“Guru memang bak
pelita.” Dhani tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca ketika nyanyian dari
sudut ruangan berhenti. Ia merasa bodoh karena sikap dan pemikirannya selama
ini. Memang tidak salah bahwa ia lebih banyak tahu karena ia mempelajari semua
hal lebih dulu dan tidak mengikuti pelajaran disekolah, tapi ia merasa salah
karena tidak pernah memiliki rasa berterima kasih pada guru-gurunya.
Shinta tersenyum,
merasa senang ketika menyadari bahwa Dhani mulai menyesal karena telah tidak
menganggap keberadaan guru di sekitarnya selama ini. “Penerang dalam gulita.”
Sambung Shinta lirih.
“Aku harus menemui
guru-guruku dari TK sebelum berangkat ke Amerika. Do’a mereka kan juga seperti tombak
dalam pencapaian cita-citaku.”
Shinta menoleh, menatap
bingung.
***
Tidak peduli apakah kau
sudah di dalam perjalanan menggapai impian, atau baru akan bersiap untuk
menggapai cita-cita. Apakah sudah menggapai kesuksesan atau masih akan menuju
kesuksesan, selalulah bersyukur atas nikmat Tuhan, yang menjadikanmu seperti
sekarang ini. Sayangilah keluarga, yang sudah mendukungmu hingga detik ini. Dan
ingatlah jasa guru. Berterima kasihlah pada mereka. Mungkin saja, tanpa untaian
kalimat panjang penjelasan mereka di dalam kelas, kau tidak menjadi dirimu yang
sekarang ini.
Shinta mengetik semua
itu dengan senyuman lebar, jemari yang lincah, dan perasaan semangat yang
berkobar-kobar. “Dhani harus membaca ini.” Pikir perempuan itu dalam hati.
Tidak lama setelah kalimat-kalimat yang menceritakan kisah Dhani itu selesai,
Shinta mengirimkan cerita buatannya lewat e-mail pada Dhani yang entah
sedang melakukan apa di negeri orang. Shinta tidak sabar menunggu komentar
Dhani jika tahu cerita ini adalah kisah memalukannya yang seharusnya ditutupi.
Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Juni 2013