Friday, December 20, 2013

ANDRE INGIN JADI DOKTER


Andre yang baru saja menginjak usia tujuh tahun berlari-lari di sekitar tempat pembuangan akhir sampah di sebuah pinggiran kota. Ia tidak tahu harus melakukan apa di sana. Ibunya sedang bekerja. Andre tidak tahu, ibunya entah mengumpulkan sampah yang seperti apa dan entah untuk apa barang-barang kotor itu dikumpulkan.
Langit senja menemani Andre yang bermain-main sendiri hari itu. Ini hari pertamanya diajak ke tempat kerja ibunya. Selama ini Andre hanya ditinggal sendirian di rumah kardus dekat pinggiran sungai kumuh. Tidak banyak yang bisa Andre lakukan di sana. Ia anak pertama, tidak memiliki abang atau kakak untuk bermain. Ia juga tidak punya mainan, yang sebenarnya banyak anak-anak seusianya di belahan wilayah lain sedang tertawa ceria tanpa beban karena memiliki banyak mainan dan tempat tinggal yang layak.
“Ayo pulang nak, ibu sudah selesai.” Ajak Ibunya seraya mendekati Andre yang berlari-lari di antara tumpukan sampah. Andre hanya mengangguk sambil tersenyum dan mengikuti ibunya. Mereka berjalan di trotoar. Jalanan padat oleh kendaraan. Sebentar lagi langit akan menjadi gelap.
“Kita makan apa malam ini, bu?” Andre bertanya polos.
“Andre mau makan apa?” Tanya Ibunya lembut setengah cemas.
“Apa saja, asal makan dengan ibu.” Jawab Andre pelan. Sang Ibu terharu. Ingin rasanya menangis saat itu juga, tapi tidak mungkin.
Malam tiba. Langit hari ini cerah sekali. Andre mendongak, berdiri diam menatap rembulan yang membulat sempurna ditemani oleh beribu bintang yang entah membentuk formasi apa. Ibu Andre melangkah ragu mendekati sebuah tempat makan kaki lima di pinggir jalan. Dengan pakaian yang kumuh, orang-orang yang sedang makan otomatis menoleh, memperhatikannya. Ia tidak menghiraukan orang-orang itu. Untung saja yang menjual nasi tidak mengusirnya. Ibu Andre merelakan sepuluh ribu hasil jerih payahnya hari ini untuk sebungkus nasi, mengisi perut yang sejak tadi pagi belum terisi barang sesuap pun.
Saat Ibunya membeli nasi, Andre hanya duduk menekuk lutut di depan sebuah toko yang sudah tutup sambil terus menatap langit. Tiba-tiba saja pejalan kaki yang lewat melemparkan selebaran uang seribu rupiah kepadanya. Awalnya Andre tidak mengerti. Tapi setelah berpikir keras, ia teringat seorang tetangganya di kawasan kumuh yang pekerjaaannya hanya duduk di depan sebuah pusat perbelanjaan dan orang-orang yang lewat akan memberinya uang. Andre dikira mengemis di depan toko yang sudah tutup ini.
“Hai, siapa namamu?” Tiba-tiba saja ada seorang anak perempuan yang sepertinya sebaya dengan Andre mendekat. Pakaiannya rapi. Rambut perempuan itu hitam, panjang, dan rapi. Ia mengenakan gaun merah muda dan jepit rambut yang cantik. Sedangkan Andre mengenakan baju kebesaran yang sudah robek di sana sini. Rambut Andre juga tidak disisir rapi.
Andre hanya menatap perempuan itu tanpa menjawab apa-apa.
“Namaku Putri. Kamu siapa?” Tanya Putri ramah, tersenyum lebar.
“Andre,” jawabnya ragu.
“Kenapa kamu duduk sendirian di sini?” Tanya Putri lagi.
“Nggak kok. Ibuku sedang beli nasi.”
“Oh...kamu sekolah di mana?”
Mendengar pertanyaan itu ia sedikit tersinggung. Bulan lalu ibunya sudah menjelaskan bahwa belum bisa menyekolahkannya tahun ini. Tapi Andre mengerti. Biarpun usianya masih tergolong kecil, entah kenapa Andre bisa bersikap dewasa. Ia mengerti kondisinya, kondisi ibunya. Bahkan tahun depan saja ia belum tentu bisa sekolah.
“Aku nggak sekolah...” ujar Andre pelan.
Belum sempat Putri menjawab, orang tuanya yang juga membeli nasi sudah memanggilnya. Putri pamit dan berlari mendekati Ayahnya dan segera masuk ke dalam mobil. Andre hanya diam menatap hal itu. Apakah yang berhak mempunyai mobil dan hidupnya enak itu orang-orang tertentu saja?
Andre menghempaskan helaan nafasnya. Beberapa detik kemudian ibunya sudah kembali dengan membawa kantong plastik yang berisi sebungkus nasi. Andre langsung memberikan uang seribu yang didapatnya dan menceritakan bagaimana ia bisa memperoleh uang itu. Ibu Andre hanya tertawa. Mereka berjalan pulang dan begitu sampai, mereka langsung menyantap nasi bungkus yang masih hangat itu. Untuk pertama kalinya, Andre makan enak. Tidak peduli kalau anak-anak lain makan burger, kentang goreng, pizza, atau berbagai makanan berkelas lainnya, bagi Andre, ini saja sudah enak dan harus disyukuri.
***
Andre menangis sejadi-jadinya. Seminggu setelah makan nasi bungkus perdana baginya, ibunya dilaporkan sudah meninggal dunia, menyusul ayahnya. Ibunya ditabrak oleh seorang pelajar SMA yang terlambat berangkat sekolah. Saat Ibu Andre mengorek-ngorek tempat sampah di trotoar jalan raya, anak muda itu sedang membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Begitu ia memotong jalan sebuah mobil besar, ia tidak sempat menghindar karena ternyata di depannya ada sebuah mobil sedan. Setir mobil dibantingnya dan menabrak ibu Andre.
Sungguh ironi, Andre menjadi anak sebatang kara. Seorang polisi menyarankan tetangganya untuk membawa Andre ke pantiasuhan. Andre menurut saja. Suaranya sudah serak karena terus berteriak selama beberapa jam. Air matanya juga sudah terasa habis.
Andre kecil disambut hangat oleh pemilik pantiasuhan di tengah kota. Hari pertama ia memang masih tidak mau bicara dan hanya banyak diam daripada bermain bersama teman-teman sebayanya. Tapi hari-hari berikutnya, saat ia berhasil untuk membujuk dirinya sendiri, ia mulai menyatu dengan keluarga besarnya di pantiasuhan itu.
Berselang beberapa bulan, ada seorang pengusaha kaya yang membuat perjanjian dengan pemilik pantiasuhan. Anak-anak yang baru masuk, termasuk Andre, yang belum sekolah, akan disekolahkan pada tahun ajaran baru. Andre senang sekali, meski ia tidak mengerti apa yang diceritakan oleh kakak-kakak yang merawatnya. Ia tidak mengerti apa maksudnya, yang jelas ia akan bersekolah.
“Andre mau jadi apa kalau udah besar?” Tanya Rara, perawatnya.
“Mau jadi dokter...” jawab Andre malu-malu.
“Kenapa?” Tanya Rara lembut.
“Biar bisa ngobatin orang.” Andre tertawa pelan.
Rara ikut tertawa, bangga pada anak yang satu ini. Sejak di pantiasuhan, Andre bisa menonton televisi, hal yang belum pernah dilakukannya sejak ia lahir. Ia banyak belajar, selain mewarnai dan menggambar, ia juga diajarkan membaca Al Qur’an. Andre anak yang pintar, ia berkembang dengan pesat. Saat diajarkan membaca, ia sudah jauh mendahului teman-temannya. Ia bisa membaca buku pelajaran saat satu bulan sebelum hari pertamanya bersekolah.
Tapi, bukankah setiap pertemuan ada hikmahnya? Siapa yang menyangka, bahwa Putri akan kembali bertemu dengan Andre? Andre yang kondisinya sudah jauh lebih baik malah kegirangan, tertawa menyambut Putri dan keluarganya yang berkunjung untuk menyumbangkan banyak hal.
“Putri masih ingat aku nggak?” Andre cengar-cengir.
“Masih. Kok kamu bisa di sini?”
“Nggak ngerti juga kenapa aku diantar ke sini. Nggak penting kan?”
Putri tertawa. “Iya, nggak penting.”
Hari itu Putri dan keluarganya menyumbangkan buku-buku pelajaran dan buku-buku cerita yang masih layak pakai milik kakak Putri yang sekarang sudah menjadi dokter di sebuah rumah sakit di luar negri. Andre mengambil sebuah buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan membuka halaman pertama. Ada tulisan tangan dengan tinta merah muda di sana. Andre mengeja huruf demi huruf di depan putri.
“Pri...Pris...Prisca?” Andre menatap Putri bingung. Apa itu nama sekolah kakaknya Putri?
“Itu nama kakakku, Kak Prisca. Kakak kuliah ke luar negri begitu tamat SMA dan sudah kerja di sana sekarang.” Jelas Putri.
“kakakmu hebat, ya?”
Putri mengangguk, tersenyum. Ia bangga pada kakaknya.
Saat Putri dan keluarganya pamit untuk pulang, Putri mengatakan, “Aku akan sering-sering main ke sini.” Andre hanya mengangguk, dan kemudian ia berlari ke ruang tengah, tempat semua buku-buku yang disumbangkan diletakkan.
Rara mendekati Andre yang duduk serius membaca buku IPA yang digenggamnya. “Serius sekali bacanya?” Tanya Rara sambil tertawa.
“Kak, Andre serius. Andre ingin jadi dokter, ingin jadi kayak Kak Prisca, yang punya buku ini.”
Rara hanya diam menatap Andre yang matanya sudah berbinar-binar, pertanda ia benar-benar yakin pada impiannya.
***
Sebulan setelah tahun ajaran baru dimulai, Andre berkembang sangat pesat. Ia menangkap pelajaran di sekolah dengan cepat, dan sangat aktif di kelas. Rara juga ikut senang mendengar cerita guru sekolahnya. Tapi sayang, pengusaha yang menjanjikan banyak hal itu terlibat sebuah kasus yang tidak Andre mengerti. Perusahaan bapak itu bangkrut, dan Andre terancam putus sekolah saat masa-masa sekolahnya sudah berjalan selama enam bulan.
“Kak, Andre cari uang sendiri nggak apa ya? Pulang sekolah Andre langsung kerja, terus kalau tiap hari dapat uang kan bisa ditabung, untuk keperluan sekolah.” Ujar Andre yakin pada suatu hari saat sekolahnya libur semester.
Awalnya Rara hanya diam. Setelah dipertimbangkannya bersama pemilik pantiasuhan, Andre diperbolehkan melakukan apa yang ia inginkan. Andre diperbolehkan mencari uang. Duhai, tidak adakah orang kaya di luar sana yang sadar bahwa di sisi lain kekayaan mereka yang tidak terhitung itu ada anak yang sangat membutuhkan uluran tangan untuk menggapai impiannya? Bukan hanya Andre, tapi lebih dari seribu anak yang akan menjadi penerus bangsa beberapa tahun yang akan datang membutuhkan uluran tangan itu.
***
Sepulang sekolah, Andre langsung mengganti pakaiannya dan langsung bekerja. Ia mengikuti apa yang dilakukan ibunya dulu, memulung. Dengan semangat yang membara, di tengah terik matahari siang hari, ia mengumpulkan apa saja yang bisa ia jual kembali. Saat ia merasa lelah, Andre duduk di pinggir jalan, meletakkan sampah yang sudah dikumpulkannya, lalu membuka buku IPA milik kakaknya Putri. Ia minta izin pada Rara agar buku itu menjadi miliknya, bukan milik bersama. Rara memperbolehkan, dan Andre membawa buku itu ke mana-mana. Buku itu dirawat tanpa sedikit tinta pena pun menggores nama Prisca. Andre yakin ia akan bisa menjadi dokter, meskipun banyak hal yang harus ia hadapi.
Begitu ia tidak lagi merasa lelah, ia berdiri dan kembali berjalan menelusuri tempat sampah yang mungkin akan ada banyak barang-barang yang dicari olehnya. Iming-iming menjadi dokter terus saja menguasai pikirannya.
Meskipun ia mengerti tentang bagaimana kehidupannya, impian itu tidak pernah pudar. Sejak pertama kali ia melihat tayangan televisi dan melihat sosok seorang dokter, Andre langsung menetapkan cita-citanya, tujuan hidupnya, menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Meskipun Andre belum terlalu mengerti apa saja tugas seorang dokter, yang jelas ia ingin sekali menolong orang, mengobati orang, dan kalau bisa, ia akan memberikan pengobatan gratis pada orang-orang tidak mampu.
“Masih kecil kok udah mikir sampai sana?” Tanya Rara suatu malam sebelum Andre beranjak tidur.
Andre hanya tertawa, lagi-lagi malu karena ditanya-tanya oleh Rara.
***
Uang yang dikumpulkan Andre sudah lumayan banyak. Ia menabung setiap hari, dan Rara terus saja melarangnya karena takut Andre jatuh sakit. Dan benar saja, Andre demam tinggi dua bulan berikutnya dan dibawa ke rumah sakit. Di saat suhu badannya sudah sangat tinggi, ia masih sempat tersenyum menyapa seorang dokter dengan terbata-bata. Rara tak kuasa menahan tangis. Ia ke luar dari ruangan dan membiarkan dokter memeriksa kondisi Andre.

Selesai berobat, Andre merasa kepalanya masih sakit dan berat sekali diajak bergerak. Andre hanya bisa tidur di kasur kamar. Rara sudah memberikan bubur hangat dan meminumkan obat untuk Andre. Andre tidak bisa tidur. Entah kenapa tiba-tiba rasa sedih menjalar di perasaannya, dan ia langsung menangis, reflek teringat ibunya. Andre meraih buku IPA milik Prisca yang sejak awal sudah ada di sebelahnya. Andre menangis sejadi-jadinya. Ia membcara nama Prisca yang tertulis di halaman pertama buku itu. Antara membayangkan wajah ibunya dan membayangkan dirinya menjadi seorang dokter, ia berkata pelan dalam hati, “Do’akan Andre, bu. Andre akan menjadi anak yang sukses dan membanggakan, do’akan Andre bu...”

Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Februari 2013

BUKAN ARTI SAHABAT


Sahabat berarti bersama, biarpun berbeda
Satu rasa, biarpun ada perbedaan nada dalam melodi yang mengalun
Saling memiliki, saling berbagi, meski terkadang ego melawan
Satu cita, ingin mengisi kekosongan dan bersama disaat duka walau berbeda tujuan

Nindi meremukkan sebait puisi yang dirobeknya dari buku harian beberapa hari lalu. Ia sedang duduk di sebuah restoran cepat saji dekat sekolah, berusaha damai dengan rasa sedihnya. Saat ini kata sahabat membuatnya sedikit muak.
Apanya yang menghadapi masalah bersama? Apanya yang saling merasakan apa yang dirasakan teman lainnya? Nindi kesal, muak, sudah lelah dengan semuanya. Ia lebih memilih untuk menyendiri membaca buku di perpustakaan selama jam istirahat di sekolah daripada duduk makan di kantin sendirian.
Ia tidak begitu ingat kapan tepatnya kedua sahabatnya itu menjauh, bersikap aneh padanya. Ditanya ada masalah apa, mereka menjawab tidak ada apa-apa. Anjani, sahabatnya yang paling cerewet dan suka menggosip yang sudah dikenalnya sejak sekolah dasar, lebih memilih duduk bersama teman-teman cheersnya daripada dengan Nindi atau pun dengan Dila, perempuan pendiam dan cerdas yang baru mereka kenal di SMP. Mereka masuk SMA yang sama, dan masih sering berdiskusi, bermain, atau menginap sambil bercerita panjang lebar bersama di rumah salah seorang diantara mereka sampai akhir tahun kedua mereka di SMA. Begitu mereka naik ke kelas dua belas, Nindi hanya tidak mengerti kenapa Anjani sedikit menjaga jarak. Anjani lebih sering diam jika pulang sekolah bersama atau duduk makan di kantin bersama Nindi dan Dila.
Sikap diam Anjani yang tiba-tiba tidak bertahan lama. Anjani bersikap terang-terangan diam di depan Nindi dan Dila lantas langsung menjadi Anjani yang heboh dan cerewet saat duduk bersama teman-teman cheers yang baru dikenalnya saat awal masuk SMA.
Lambat laun, Dila lebih suka duduk di pinggiran kelas bersama teman-teman yang tingkat intelektual dan kecerdasannya sama dengannya. Pembicaraan mereka hanya seputaran perkembangan ilmu pengetahuan dan berita-berita umum yang menurut Nindi tidak penting untuk dibahas. Semenjak itu jugalah, Nindi tidak bersemangat bergabung bersama Anjani dan teman-temannya karena ia terlalu norak di sana dan tidak ingin bergabung bersama Dila dan temannya yang lain karena ia selalu saja diam sebagai pendengar sementara yang lain sibuk mengutarakan pendapat masing-masing.
Nindi menghembuskan nafas pelan. Biarpun sudah dapat teman yang sejalan pemikirannya, seharusnya mereka tetap saling menyapa atau sekedar bercerita singkat tentang apa saja. Tapi kali ini tidak. Mereka hanya saling diam, tersenyum tanggung jika bertemu, tidak saling mengajak makan atau belajar bersama.
Nindi menoleh ke luar jendela kaca yang ada tepat di sebelah tempat duduknya. Ia sengaja memilih meja yang ada di sudut. Siapa tahu melihat suasana di luar sana bisa sedikit menenangkan batinnya. Menghilangkan rasa kehilangannya.
“Dila kamu kenapa?”
“Nggak ada apa-apa kok.”
“Ayo cerita ke kami, nggak boleh pendam-pendam sendiri.”
Percakapan-percakapan lama itu terngiang dalam pikiran Nindi. Diam yang tidak berasalan seperti ini justru membuatnya lebih ingin marah daripada jika Anjani atau Dila menceritakan langsung padanya apakah dia ada berbuat salah atau tidak.

Persahabatan itu bukan seperti ini. Ia benar-benar merasa kehilangan, tidak kuat menghadapi apa-apa sendirian meski lambat-laun seharusnya sudah harus membiasakan diri. Ia merasa lemah sekaligus sedih, seperti tidak mempunyai teman untuk menumpahkan semuanya, bahkan rasa kesal pada sahabatnya sendiri.

Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Oktober 2012