Friday, December 20, 2013

ANDRE INGIN JADI DOKTER


Andre yang baru saja menginjak usia tujuh tahun berlari-lari di sekitar tempat pembuangan akhir sampah di sebuah pinggiran kota. Ia tidak tahu harus melakukan apa di sana. Ibunya sedang bekerja. Andre tidak tahu, ibunya entah mengumpulkan sampah yang seperti apa dan entah untuk apa barang-barang kotor itu dikumpulkan.
Langit senja menemani Andre yang bermain-main sendiri hari itu. Ini hari pertamanya diajak ke tempat kerja ibunya. Selama ini Andre hanya ditinggal sendirian di rumah kardus dekat pinggiran sungai kumuh. Tidak banyak yang bisa Andre lakukan di sana. Ia anak pertama, tidak memiliki abang atau kakak untuk bermain. Ia juga tidak punya mainan, yang sebenarnya banyak anak-anak seusianya di belahan wilayah lain sedang tertawa ceria tanpa beban karena memiliki banyak mainan dan tempat tinggal yang layak.
“Ayo pulang nak, ibu sudah selesai.” Ajak Ibunya seraya mendekati Andre yang berlari-lari di antara tumpukan sampah. Andre hanya mengangguk sambil tersenyum dan mengikuti ibunya. Mereka berjalan di trotoar. Jalanan padat oleh kendaraan. Sebentar lagi langit akan menjadi gelap.
“Kita makan apa malam ini, bu?” Andre bertanya polos.
“Andre mau makan apa?” Tanya Ibunya lembut setengah cemas.
“Apa saja, asal makan dengan ibu.” Jawab Andre pelan. Sang Ibu terharu. Ingin rasanya menangis saat itu juga, tapi tidak mungkin.
Malam tiba. Langit hari ini cerah sekali. Andre mendongak, berdiri diam menatap rembulan yang membulat sempurna ditemani oleh beribu bintang yang entah membentuk formasi apa. Ibu Andre melangkah ragu mendekati sebuah tempat makan kaki lima di pinggir jalan. Dengan pakaian yang kumuh, orang-orang yang sedang makan otomatis menoleh, memperhatikannya. Ia tidak menghiraukan orang-orang itu. Untung saja yang menjual nasi tidak mengusirnya. Ibu Andre merelakan sepuluh ribu hasil jerih payahnya hari ini untuk sebungkus nasi, mengisi perut yang sejak tadi pagi belum terisi barang sesuap pun.
Saat Ibunya membeli nasi, Andre hanya duduk menekuk lutut di depan sebuah toko yang sudah tutup sambil terus menatap langit. Tiba-tiba saja pejalan kaki yang lewat melemparkan selebaran uang seribu rupiah kepadanya. Awalnya Andre tidak mengerti. Tapi setelah berpikir keras, ia teringat seorang tetangganya di kawasan kumuh yang pekerjaaannya hanya duduk di depan sebuah pusat perbelanjaan dan orang-orang yang lewat akan memberinya uang. Andre dikira mengemis di depan toko yang sudah tutup ini.
“Hai, siapa namamu?” Tiba-tiba saja ada seorang anak perempuan yang sepertinya sebaya dengan Andre mendekat. Pakaiannya rapi. Rambut perempuan itu hitam, panjang, dan rapi. Ia mengenakan gaun merah muda dan jepit rambut yang cantik. Sedangkan Andre mengenakan baju kebesaran yang sudah robek di sana sini. Rambut Andre juga tidak disisir rapi.
Andre hanya menatap perempuan itu tanpa menjawab apa-apa.
“Namaku Putri. Kamu siapa?” Tanya Putri ramah, tersenyum lebar.
“Andre,” jawabnya ragu.
“Kenapa kamu duduk sendirian di sini?” Tanya Putri lagi.
“Nggak kok. Ibuku sedang beli nasi.”
“Oh...kamu sekolah di mana?”
Mendengar pertanyaan itu ia sedikit tersinggung. Bulan lalu ibunya sudah menjelaskan bahwa belum bisa menyekolahkannya tahun ini. Tapi Andre mengerti. Biarpun usianya masih tergolong kecil, entah kenapa Andre bisa bersikap dewasa. Ia mengerti kondisinya, kondisi ibunya. Bahkan tahun depan saja ia belum tentu bisa sekolah.
“Aku nggak sekolah...” ujar Andre pelan.
Belum sempat Putri menjawab, orang tuanya yang juga membeli nasi sudah memanggilnya. Putri pamit dan berlari mendekati Ayahnya dan segera masuk ke dalam mobil. Andre hanya diam menatap hal itu. Apakah yang berhak mempunyai mobil dan hidupnya enak itu orang-orang tertentu saja?
Andre menghempaskan helaan nafasnya. Beberapa detik kemudian ibunya sudah kembali dengan membawa kantong plastik yang berisi sebungkus nasi. Andre langsung memberikan uang seribu yang didapatnya dan menceritakan bagaimana ia bisa memperoleh uang itu. Ibu Andre hanya tertawa. Mereka berjalan pulang dan begitu sampai, mereka langsung menyantap nasi bungkus yang masih hangat itu. Untuk pertama kalinya, Andre makan enak. Tidak peduli kalau anak-anak lain makan burger, kentang goreng, pizza, atau berbagai makanan berkelas lainnya, bagi Andre, ini saja sudah enak dan harus disyukuri.
***
Andre menangis sejadi-jadinya. Seminggu setelah makan nasi bungkus perdana baginya, ibunya dilaporkan sudah meninggal dunia, menyusul ayahnya. Ibunya ditabrak oleh seorang pelajar SMA yang terlambat berangkat sekolah. Saat Ibu Andre mengorek-ngorek tempat sampah di trotoar jalan raya, anak muda itu sedang membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Begitu ia memotong jalan sebuah mobil besar, ia tidak sempat menghindar karena ternyata di depannya ada sebuah mobil sedan. Setir mobil dibantingnya dan menabrak ibu Andre.
Sungguh ironi, Andre menjadi anak sebatang kara. Seorang polisi menyarankan tetangganya untuk membawa Andre ke pantiasuhan. Andre menurut saja. Suaranya sudah serak karena terus berteriak selama beberapa jam. Air matanya juga sudah terasa habis.
Andre kecil disambut hangat oleh pemilik pantiasuhan di tengah kota. Hari pertama ia memang masih tidak mau bicara dan hanya banyak diam daripada bermain bersama teman-teman sebayanya. Tapi hari-hari berikutnya, saat ia berhasil untuk membujuk dirinya sendiri, ia mulai menyatu dengan keluarga besarnya di pantiasuhan itu.
Berselang beberapa bulan, ada seorang pengusaha kaya yang membuat perjanjian dengan pemilik pantiasuhan. Anak-anak yang baru masuk, termasuk Andre, yang belum sekolah, akan disekolahkan pada tahun ajaran baru. Andre senang sekali, meski ia tidak mengerti apa yang diceritakan oleh kakak-kakak yang merawatnya. Ia tidak mengerti apa maksudnya, yang jelas ia akan bersekolah.
“Andre mau jadi apa kalau udah besar?” Tanya Rara, perawatnya.
“Mau jadi dokter...” jawab Andre malu-malu.
“Kenapa?” Tanya Rara lembut.
“Biar bisa ngobatin orang.” Andre tertawa pelan.
Rara ikut tertawa, bangga pada anak yang satu ini. Sejak di pantiasuhan, Andre bisa menonton televisi, hal yang belum pernah dilakukannya sejak ia lahir. Ia banyak belajar, selain mewarnai dan menggambar, ia juga diajarkan membaca Al Qur’an. Andre anak yang pintar, ia berkembang dengan pesat. Saat diajarkan membaca, ia sudah jauh mendahului teman-temannya. Ia bisa membaca buku pelajaran saat satu bulan sebelum hari pertamanya bersekolah.
Tapi, bukankah setiap pertemuan ada hikmahnya? Siapa yang menyangka, bahwa Putri akan kembali bertemu dengan Andre? Andre yang kondisinya sudah jauh lebih baik malah kegirangan, tertawa menyambut Putri dan keluarganya yang berkunjung untuk menyumbangkan banyak hal.
“Putri masih ingat aku nggak?” Andre cengar-cengir.
“Masih. Kok kamu bisa di sini?”
“Nggak ngerti juga kenapa aku diantar ke sini. Nggak penting kan?”
Putri tertawa. “Iya, nggak penting.”
Hari itu Putri dan keluarganya menyumbangkan buku-buku pelajaran dan buku-buku cerita yang masih layak pakai milik kakak Putri yang sekarang sudah menjadi dokter di sebuah rumah sakit di luar negri. Andre mengambil sebuah buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan membuka halaman pertama. Ada tulisan tangan dengan tinta merah muda di sana. Andre mengeja huruf demi huruf di depan putri.
“Pri...Pris...Prisca?” Andre menatap Putri bingung. Apa itu nama sekolah kakaknya Putri?
“Itu nama kakakku, Kak Prisca. Kakak kuliah ke luar negri begitu tamat SMA dan sudah kerja di sana sekarang.” Jelas Putri.
“kakakmu hebat, ya?”
Putri mengangguk, tersenyum. Ia bangga pada kakaknya.
Saat Putri dan keluarganya pamit untuk pulang, Putri mengatakan, “Aku akan sering-sering main ke sini.” Andre hanya mengangguk, dan kemudian ia berlari ke ruang tengah, tempat semua buku-buku yang disumbangkan diletakkan.
Rara mendekati Andre yang duduk serius membaca buku IPA yang digenggamnya. “Serius sekali bacanya?” Tanya Rara sambil tertawa.
“Kak, Andre serius. Andre ingin jadi dokter, ingin jadi kayak Kak Prisca, yang punya buku ini.”
Rara hanya diam menatap Andre yang matanya sudah berbinar-binar, pertanda ia benar-benar yakin pada impiannya.
***
Sebulan setelah tahun ajaran baru dimulai, Andre berkembang sangat pesat. Ia menangkap pelajaran di sekolah dengan cepat, dan sangat aktif di kelas. Rara juga ikut senang mendengar cerita guru sekolahnya. Tapi sayang, pengusaha yang menjanjikan banyak hal itu terlibat sebuah kasus yang tidak Andre mengerti. Perusahaan bapak itu bangkrut, dan Andre terancam putus sekolah saat masa-masa sekolahnya sudah berjalan selama enam bulan.
“Kak, Andre cari uang sendiri nggak apa ya? Pulang sekolah Andre langsung kerja, terus kalau tiap hari dapat uang kan bisa ditabung, untuk keperluan sekolah.” Ujar Andre yakin pada suatu hari saat sekolahnya libur semester.
Awalnya Rara hanya diam. Setelah dipertimbangkannya bersama pemilik pantiasuhan, Andre diperbolehkan melakukan apa yang ia inginkan. Andre diperbolehkan mencari uang. Duhai, tidak adakah orang kaya di luar sana yang sadar bahwa di sisi lain kekayaan mereka yang tidak terhitung itu ada anak yang sangat membutuhkan uluran tangan untuk menggapai impiannya? Bukan hanya Andre, tapi lebih dari seribu anak yang akan menjadi penerus bangsa beberapa tahun yang akan datang membutuhkan uluran tangan itu.
***
Sepulang sekolah, Andre langsung mengganti pakaiannya dan langsung bekerja. Ia mengikuti apa yang dilakukan ibunya dulu, memulung. Dengan semangat yang membara, di tengah terik matahari siang hari, ia mengumpulkan apa saja yang bisa ia jual kembali. Saat ia merasa lelah, Andre duduk di pinggir jalan, meletakkan sampah yang sudah dikumpulkannya, lalu membuka buku IPA milik kakaknya Putri. Ia minta izin pada Rara agar buku itu menjadi miliknya, bukan milik bersama. Rara memperbolehkan, dan Andre membawa buku itu ke mana-mana. Buku itu dirawat tanpa sedikit tinta pena pun menggores nama Prisca. Andre yakin ia akan bisa menjadi dokter, meskipun banyak hal yang harus ia hadapi.
Begitu ia tidak lagi merasa lelah, ia berdiri dan kembali berjalan menelusuri tempat sampah yang mungkin akan ada banyak barang-barang yang dicari olehnya. Iming-iming menjadi dokter terus saja menguasai pikirannya.
Meskipun ia mengerti tentang bagaimana kehidupannya, impian itu tidak pernah pudar. Sejak pertama kali ia melihat tayangan televisi dan melihat sosok seorang dokter, Andre langsung menetapkan cita-citanya, tujuan hidupnya, menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Meskipun Andre belum terlalu mengerti apa saja tugas seorang dokter, yang jelas ia ingin sekali menolong orang, mengobati orang, dan kalau bisa, ia akan memberikan pengobatan gratis pada orang-orang tidak mampu.
“Masih kecil kok udah mikir sampai sana?” Tanya Rara suatu malam sebelum Andre beranjak tidur.
Andre hanya tertawa, lagi-lagi malu karena ditanya-tanya oleh Rara.
***
Uang yang dikumpulkan Andre sudah lumayan banyak. Ia menabung setiap hari, dan Rara terus saja melarangnya karena takut Andre jatuh sakit. Dan benar saja, Andre demam tinggi dua bulan berikutnya dan dibawa ke rumah sakit. Di saat suhu badannya sudah sangat tinggi, ia masih sempat tersenyum menyapa seorang dokter dengan terbata-bata. Rara tak kuasa menahan tangis. Ia ke luar dari ruangan dan membiarkan dokter memeriksa kondisi Andre.

Selesai berobat, Andre merasa kepalanya masih sakit dan berat sekali diajak bergerak. Andre hanya bisa tidur di kasur kamar. Rara sudah memberikan bubur hangat dan meminumkan obat untuk Andre. Andre tidak bisa tidur. Entah kenapa tiba-tiba rasa sedih menjalar di perasaannya, dan ia langsung menangis, reflek teringat ibunya. Andre meraih buku IPA milik Prisca yang sejak awal sudah ada di sebelahnya. Andre menangis sejadi-jadinya. Ia membcara nama Prisca yang tertulis di halaman pertama buku itu. Antara membayangkan wajah ibunya dan membayangkan dirinya menjadi seorang dokter, ia berkata pelan dalam hati, “Do’akan Andre, bu. Andre akan menjadi anak yang sukses dan membanggakan, do’akan Andre bu...”

Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Februari 2013

BUKAN ARTI SAHABAT


Sahabat berarti bersama, biarpun berbeda
Satu rasa, biarpun ada perbedaan nada dalam melodi yang mengalun
Saling memiliki, saling berbagi, meski terkadang ego melawan
Satu cita, ingin mengisi kekosongan dan bersama disaat duka walau berbeda tujuan

Nindi meremukkan sebait puisi yang dirobeknya dari buku harian beberapa hari lalu. Ia sedang duduk di sebuah restoran cepat saji dekat sekolah, berusaha damai dengan rasa sedihnya. Saat ini kata sahabat membuatnya sedikit muak.
Apanya yang menghadapi masalah bersama? Apanya yang saling merasakan apa yang dirasakan teman lainnya? Nindi kesal, muak, sudah lelah dengan semuanya. Ia lebih memilih untuk menyendiri membaca buku di perpustakaan selama jam istirahat di sekolah daripada duduk makan di kantin sendirian.
Ia tidak begitu ingat kapan tepatnya kedua sahabatnya itu menjauh, bersikap aneh padanya. Ditanya ada masalah apa, mereka menjawab tidak ada apa-apa. Anjani, sahabatnya yang paling cerewet dan suka menggosip yang sudah dikenalnya sejak sekolah dasar, lebih memilih duduk bersama teman-teman cheersnya daripada dengan Nindi atau pun dengan Dila, perempuan pendiam dan cerdas yang baru mereka kenal di SMP. Mereka masuk SMA yang sama, dan masih sering berdiskusi, bermain, atau menginap sambil bercerita panjang lebar bersama di rumah salah seorang diantara mereka sampai akhir tahun kedua mereka di SMA. Begitu mereka naik ke kelas dua belas, Nindi hanya tidak mengerti kenapa Anjani sedikit menjaga jarak. Anjani lebih sering diam jika pulang sekolah bersama atau duduk makan di kantin bersama Nindi dan Dila.
Sikap diam Anjani yang tiba-tiba tidak bertahan lama. Anjani bersikap terang-terangan diam di depan Nindi dan Dila lantas langsung menjadi Anjani yang heboh dan cerewet saat duduk bersama teman-teman cheers yang baru dikenalnya saat awal masuk SMA.
Lambat laun, Dila lebih suka duduk di pinggiran kelas bersama teman-teman yang tingkat intelektual dan kecerdasannya sama dengannya. Pembicaraan mereka hanya seputaran perkembangan ilmu pengetahuan dan berita-berita umum yang menurut Nindi tidak penting untuk dibahas. Semenjak itu jugalah, Nindi tidak bersemangat bergabung bersama Anjani dan teman-temannya karena ia terlalu norak di sana dan tidak ingin bergabung bersama Dila dan temannya yang lain karena ia selalu saja diam sebagai pendengar sementara yang lain sibuk mengutarakan pendapat masing-masing.
Nindi menghembuskan nafas pelan. Biarpun sudah dapat teman yang sejalan pemikirannya, seharusnya mereka tetap saling menyapa atau sekedar bercerita singkat tentang apa saja. Tapi kali ini tidak. Mereka hanya saling diam, tersenyum tanggung jika bertemu, tidak saling mengajak makan atau belajar bersama.
Nindi menoleh ke luar jendela kaca yang ada tepat di sebelah tempat duduknya. Ia sengaja memilih meja yang ada di sudut. Siapa tahu melihat suasana di luar sana bisa sedikit menenangkan batinnya. Menghilangkan rasa kehilangannya.
“Dila kamu kenapa?”
“Nggak ada apa-apa kok.”
“Ayo cerita ke kami, nggak boleh pendam-pendam sendiri.”
Percakapan-percakapan lama itu terngiang dalam pikiran Nindi. Diam yang tidak berasalan seperti ini justru membuatnya lebih ingin marah daripada jika Anjani atau Dila menceritakan langsung padanya apakah dia ada berbuat salah atau tidak.

Persahabatan itu bukan seperti ini. Ia benar-benar merasa kehilangan, tidak kuat menghadapi apa-apa sendirian meski lambat-laun seharusnya sudah harus membiasakan diri. Ia merasa lemah sekaligus sedih, seperti tidak mempunyai teman untuk menumpahkan semuanya, bahkan rasa kesal pada sahabatnya sendiri.

Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Oktober 2012


Friday, November 8, 2013

CERITA FIRA

Kalau dipikir-pikir, ada banyak cerita cinta di dunia ini. Setiap orang memiliki cerita masing-masing. Mulai dari awal bertemu, awal kedekatan, awal perasaan itu menyesak di dada, awal keanehan pada pikiran atau bayangan suara yang terus terngiang dalam pikiran, atau semacamnya. Benar kata salah seorang penulis terkenal yang karyanya sangat kukagumi. Cerita cinta setiap orang berbeda. Biarpun hampir sama, atau mirip sekalipun, perasaan yang ditimbulkan dari setiap cerita sangatlah banyak. Dan jika merenungkan hal ini, rasa sedihku sering kali hilang. Terbawa pemikiran yang mungkin tidak berguna.
Satu lagi, pagi yang harus kusyukuri. Aku masih bisa bernafas, menghirup oksigen bebas di udara meski dengan alat bantu pernafasan. Aku masih bisa melirik ke luar jendela ruang tempat aku dirawat, melihat ujung pohon-pohon tempat burung bertengger yang kicauannya paling merdu bagiku saat ini. Melihat atap-atap gedung bertingkat, yang sebenarnya sangatlah indah jika kubisa memotret dan menyimpannya sebagai kenangan. Tapi, aku tidak bisa.
Mungkin keluarga besarku berharap agar nyawaku cepat diambil, agar biaya pengobatan yang dikeluarkan tidak semakin bertambah. Aku ini anak angkat, dan tidak mungkin akan diperhatikan lebih. Satu-satunya yang sering berkunjung ke tempatku adalah Ifan, laki-laki sebaya yang sebenarnya adalah saudara sepupu bagiku. Tapi karena aku hanyalah anak angkat, jadi Ifan tidak ada hubungan apa pun denganku. Kuanggap dia sebagai teman. Teman penghibur yang senyumnya sangat kusukai.
Ifan adalah pemain basket di sekolahnya. Ia sudah banyak memenangkan berbagai kompetisi di tingkat kota maupun provinsi dan mendapat berbagai macam medali. Aku yang akhir-akhir ini tidak bisa banyak bicara hanya bisa bergumam pelan jika tubuh tingginya sudah memasuki kamar tempatku dirawat. Ia bisa menjadi seorang yang berbeda setiap kali berkunjung. Kerap kali ia menjadi ahli gizi. Dengan wajah yang sok tapi polos, ia menasihatiku agar tidak memakan pantangan dan tidak bolong-bolong meminum obat. Terkadang ia bisa menjadi motivator, berusaha meyakinkanku bahwa aku bisa sembuh. Sembuh dari kanker darah yang kemungkinannya kecil. Entah berapa persen, aku tidak tahu. Tapi karena dia satu-satunya pengunjung selain perawat dan dokter, aku mengangguk saja. Biarpun air mataku ingin sekali ke luar, tapi aku berusaha menahan agar tidak menangis di depannya.
Ifan juga pernah menjadi guru. Ia mengajarkan atau menceritakan ilmu yang baru bagiku. Yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Terakhir aku bertemu dengannya, ia menjadi seorang penceramah. Mengajarkan bahwa Allah memberi penyakit bukan karena membenciku, tapi justru karena sayang. Jika aku bisa bersabar dan tidak mengeluh, katanya pahala yang kuterima nanti sangatlah besar. Aku tidak begitu banyak tahu mengenai ini. Yang jelas, biarpun tubuhku semakin kurus dan melemah, setidaknya jika tiba waktu sholat aku tetap berusaha untuk mendirikannya, walau hanya dengan berbaring dari tempat tidur.
“Selamat pagi tuan putri.” Ifan melangkah dari pintu kamar. Ia datang lagi. Kali ini entah apa yang dibawanya.
Aku berusaha tersenyum, walau menurutku bibirku tidak berhasil melengkung membentuk sebuah senyuman.
“Fir, tante dan om bakalan pulang dari Paris besok. Kita bakalan dapat oleh-oleh banyak tuh ya?” Karena kalimat Ifan, aku baru sadar bahwa Ayah dan Ibu angkatku sedang berada di Paris, menghadiri pernikahan salah seorang adik mereka yang seharusnya kupanggil Paman.
Hampir saja aku bertanya-tanya kenapa bisa Ifan datang sepagi ini, tapi pikiranku langsung menjawab cepat. Hari ini hari Minggu, Ifan tidak sekolah. Gara-gara entah sudah beberapa bulan dirawat, aku jadi tidak ingat masalah hari atau tanggal.
“Oh ya, ini ada bacaan ringan untukmu Fir. Kuharap kau suka.” Ia memperlihatkan sebuah novel padaku. Ia mendekat, duduk di sebelahku dan menghadapkan cover novel itu. Mataku bergantian menatap novel itu dan menatap wajah Ifan yang tersenyum. Itu karyanya sendiri. Novel itu karyanya sendiri?
“Ternyata naskahku diterima oleh penerbit, dan aku langsung setuju untuk mencetaknya. Ini kuhadiahkan untukmu. Kalau senggang, bacalah. Hobi membacamu belum hilang, kan?” Lagi-lagi Ifan tersenyum. Semakin sering ia tersenyum, entah kenapa perasaanku semakin membaik, tapi beberapa detik kemudian rasa sedih menyesakkan dadaku.
Aku membuka mulut, menggerakkan bibir yang pucatnya entah seperti apa. “Kau hebat. Terimakasih banyak. Aku akan menamatkannya secepat mungkin.” Ucapku pelan, nyaris berbisik.
Beberapa jam kemudian Ifan pamit, hendak bermain basket bersama teman-temannya. Aku senang sekali, mengenal orang seperti dia. Kukira tidak ada lagi yang peduli denganku. Tapi kali ini aku tidak takut kesepian lagi. Meskipun sekali dua atau tiga hari, setidaknya dia bisa meluangkan waktunya untuk berkunjung melihatku. Aku tahu jadwalnya sangat padat. Sekolah, kursus, masuk bimbingan belajar, latihan basket, entah apa lagi.
Dengan tenaga yang masih sedikit, aku berencana untuk membaca novel Ifan seharian. Ia berhasil menerbitkan novel pertamanya. Sebelum aku dirawat, dia juga sudah sibuk mengetik naskah dan meminta pendapatku beberapa kali. Saat kubuka halaman pertama, aku tidak menyangka namaku tertera di sana. Untuk Fira, sepupu sekaligus teman terbaik bagiku. Aku senang tanpa ada sebab yang jelas.
Setelah memperhatikan dan membaca kalimat itu berkali-kali, aku mulai membaca bagian ceritanya. Aku sangat penasaran. Dulu, ia seringkali meminta pendapatku tanpa memperbolehkanku membaca naskahnya satu kalimat pun. Tapi kali ini novel ini dipersembahkan untukku.
Tanpa alasan yang jelas, air mataku menetes. Entah ini hanya kebetulan atau disengaja, tapi bagian pertama ceritanya adalah bagaimana pertemuan kami saat masih berumur enam tahun, saat aku baru diangkat menjadi anak Ayah dan Ibuku saat ini. Hal yang membuatku terkejut adalah cara Ifan menceritakannya di novel ini. Ia menjelaskannya seperti pertemuan yang istimewa, yang sangat berarti baginya. Tanpa pikir panjang aku membalikkan halaman ke bagian tengah novel, membaca sebagian isinya. Itu juga tentang awal masa SMA kami. Mungkin novel ini memang bercerita tentang kami berdua?
Saat lewat tengah malam, suara televisi kukecilkan tapi kubiarkan tetap menyala. Kamarku terlalu sepi jika tidak ada televisi. Aku tetap lanjut membaca, tidak mempedulikan berbagai selang yang mulai tertarik atau tidak pada posisinya di bagian tubuhku. Aku memang suka membaca novel, dan Ifan tahu itu. Novel Ifan tidak tergolong terlalu tebal. Saat aku berhasil membaca bagian belakang novelnya, aku kembali merenung. Bagian akhir itu dibuat-buat. Ifan berkhayal aku menemukan sum-sum tulang belakang yang tepat dan berhasil sembuh dari penyakit ini.
Tapi bagian itu tidak begitu penting bagiku. Aku sadar, bahwa ada perasaan lain yang membuatku ingin selalu dekat dengan Ifan. Ingin melihat senyumnya, atau sekedar bertemu sebentar dengannya. Aku sudah mendapatkan jawaban tidak langsung setelah membaca novel Ifan. Tapi aku tidak tahu, apakah ceritaku ini adalah bagian awal, sudah berada di puncak cerita karena keadaanku yang kritis, atau mungkin sudah di bagian akhir cerita karena perasaan Ifan sudah jelas bagiku? Entahlah.

Biarpun aku tidak pernah bertemu Ayah atau Ibu kandungku, aku tetap mencintai dan mendo’akan mereka. Aku menyayangi mereka, meski wajah mereka tidak terbayang dalam benakku. Kira-kira, begitu jugalah perasaanku pada Ifan, laki-laki yang senyumnya manis itu.


Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
September 2012

MAAFKAN AKU, IBU

Debu jalanan sesekali membuat mataku terpejam dengan refleks karena ada pasir yang beterbangan menerobos ingin masuk ke dalam mata. Cahaya mentari tengah hari terasa sangat menyilaukan dan membuat keringat bercucuran. Aspal terasa panas sekali walau aku sudah menggunakan alas kaki.
Banyak kendaraan yang lalu lalang di jalan utama tengah kota seperti ini. Jelas saja, ini jam istirahat sholat dan makan untuk mereka yang bekerja di kantor. Aku berjalan di pinggiran pertokoan, menuju sebuah bengkel motor tempatku bekerja.
Saat sedang berjalan di pinggiran toko, aku melihat segerombolan anak SMA yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan seorang anak perempuan lewat, berjalan cepat di trotoar pinggiran toko. Dua diantara mereka ada yang merokok. Aku tidak tahan ingin bertanya, kenapa jam segini mereka sedang tidak berada di sekolah? Tapi aku mengurungkan niat karena jelas saja mereka orang-orang keras yang perkataannya pedas dan sikapnya kasar.
Beberapa menit setelah mereka melintas melewatiku, aku teringat sesuatu. Rasa menyesal itu kembali datang. Penyesalan tiada henti meski aku sudah sempat meminta maaf. Rasa sedih yang mengiris hati, menyisakan perih tak tertahankan. Anak-anak SMA yang baru saja lewat mengingatkanku pada pola hidupku beberapa tahun lalu, saat aku masih menjadi pelajar dari sekolah hebat dan terhormat yang namanya harum di provinsi tempatku tinggal. Aku terlambat sadar, dan menyesal setengah matipun tidak ada gunanya.
* * *
Pagi hari beberapa tahun lalu. Pagi hari saat puncak kenakalanku tak bisa dikendalikan.
“Adi, ini uang sekolah, tolong dibayarkan. Jangan dijajankan.” Ibu mengangsurkan uang seratus ribu tujuh lembar padaku yang hendak berangkat ke sekolah.
Aku yang saat itu masih belum sadar menatap Ibuku sendiri dengan tatapan sinis yang tajam dan tanpa merasa bersalah meneriakinya. “Iya, iya! Adi bayarkan nanti, nggak mungkinlah Adi jajankan. Ibu ni!”
Aku tahu, Ibu tidak akan melawanku. Sebenarnya, sejak awal ia sudah paham aku tidak bisa diatur. Gurat tuanya semakin jelas dan aura kesedihan selalu ke luar begitu saja jika aku sudah berjalan ke garasi dan menghidupkan motor. Motor khusus untuk pulang pergi sekolah. Jelas saja, Ibu pasti berdo’a untuk keberhasilanku di sekolah. Ibu merindukan diriku yang berprestasi dan membanggakan seperti dulu, saat aku masih di SMP. Tapi aku sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Meski batinku masih berbisik untuk kebaikan, aku sudah tidak lagi menghiraukan bisikan itu. Hampir setiap hari, aku meneriaki Ibu, melawan kalimat lembutnya dengan kata makian dan kalimat keras yang kasar.
Ibu hanya menggangguk mendengar jawabanku. Ia terlihat sedih. Saat motorku ke luar dari pagar rumah dan melesat hingga ke ujung gang, wajahnya masih berdiri tegak di ujung pintu rumah. Melepasku yang hendak berangkat ke sekolah.
Motorku melesat kencang di jalan raya. Aku sudah punya rencana besar untuk hari ini. Teman-temanku sudah menjanjikan tempat untuk berkumpul, untuk bersenang-senang. Hari ini aku tidak akan ke sekolah. Uang yang diberikan Ibu sangatlah berguna. Aku sudah banyak berhutang rokok di kedai sana sini, dan teman-temanku juga ingin ditraktir. Apa kurangnya uang tujuh ratus ribu tadi?
Dari balik helm, aku tersenyum-senyum dengan sendirinya. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak aku cabut selama di SMA itu. Guru-guru sudah memperingatkan, dan tidak jarang aku dan teman-teman yang merokok di sekolah tertangkap basah. Mereka hanya menegur dan tidak berani menindak lebih lanjut karena teman-temanku yang terlibat adalah anak-anak bos  yang kalau diancam, mereka akan mengadukan guru itu kepada orangtua yang akibatnya, siswa yang salah dibenarkan dan guru yang benar disalahkan.
* * *
Rutinitas cabut dan merokokku bersama teman-teman terus berlanjut. Ibuku selalu memperingatkan dan memberi nasihat setiap kali aku pulang ke rumah untuk makan dan tidur. “Biaya sekolahmu itu tidak murah, nak... Rajinlah belajar. Ibu dan Ayah memilih sekolah yang berfasilitas lengkap dan ternama agar semangat belajarmu terpacu dan bisa tetap juara kelas seperti dulu.” Aku diam, tidak menjawab. Saat itu, aku paling malas mendengar hal ini.
“Adi... Dengarkan Ibu nak.”
“Mmmm?” Aku hanya bergumam sambil menyuap sesendok nasi di meja makan.
“Buatlah orangtuamu bangga. Ibu sudah capek datang ke sekolah karena kasus yang kamu buat. Ibu malu. Rasanya tidak tahu mau ditaruh di  mana muka ini. Dulu, Ibu bangga sekali datang ke sekolah karena anak Ibu berprestasi, memenangkan berbagai lomba. Tapi sekarang ....” Ibu terhenti di akhir kalimatnya.
Aku menoleh, menatapnya lama. Entah kenapa, rasa sayangku muncul. Rindu akan pelukan Ibu ketika aku masih kecil, kira-kira begitulah rasanya. Jelas saja, aku ini anak tunggal yang terlalu diperhatikan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan mengatakannya dengan bangga pada Ibu. “Oh ya, nilai ulangan Adi ada yang sembilan Bu. Beberapa hari yang lalu Adi ulangan Sejarah, dan nggak nyangka bisa dapat sembilan.” Aku berjalan cepat ke kamar, mengambil kertas hasil ulangan, dan menyodorkannya pada Ibu.
Ibu tersenyum. Saking senangnya matanya berkaca-kaca. Padahal itu hanya ulangan harian yang kebetulan aku duduk di dekat teman yang pandai pelajaran Sejarah. Bahasa kasarnya, aku bisa melihat jawaban temanku dan menyalin penuh semuanya. Biarlah. Untuk sesaat, aku ingin sekali kembali membahagiakan Ibu. Sore itu, semangat belajarku muncul tak tertahan.
Tapi, pada malam harinya rasa malasku terasa lebih tinggi. Aku malas membaca buku dan alhasil aku hanya menonton tv di kamar atau bermain game di laptop. Semuanya masih sama. Kebiasaan cabutku, dan sering mendapat teguran guru. Aku tahu, mereka menegur karena sudah kasihan melihat wajah Ibuku yang malu atau sedih karena perbuatanku yang sudah kelewat batas.
Suatu malam, saat Ayah pulang dari tempat kerja, Ayah memukuli punggungku dengan ikat pinggang tanpa alasan yang jelas. Ia marah-marah tidak menentu dan akhirnya menyuruhku tidur di teras rumah. Aku sudah biasa dimarahi, tapi baru kali ini Ayah memukulku. Sakit sekali rasanya. Mataku sampai berair hingga tengah malam. Di luar, angin malam terasa menusuk tulang. Aku masih terjaga saat Ibu diam-diam membuka pintu luar dan tersenyum aneh menatapku. Aku yang tidak tahu diri langsung menerobos masuk tanpa mengatakan apa-apa. Padahal Ibu yang telah menyelamatkan malam mengerikan di teras rumah saat itu.
Paginya Ayah marah besar pada Ibu tapi aku diam saja. Ini salah satu hal yang kusesali diantara banyak hal yang membuatku menyesal. Aku diam di balik pintu kamar, tidak membela Ibu yang beradu mulut dengan Ayah. Hati kecilku ingin sekali meneriaki Ayah, membela Ibu dengan berbagai alasan. Aku ingin sekali bergabung, berteriak seperti mereka. Tapi, lagi-lagi sifat jahatku menahan.
Semuanya masih berlanjut. Jika tidak ada Ayah, aku masih melawan Ibu hingga ia jatuh sakit. Aku tidak pernah tahu. Ibu menyembunyikan penyakit kistanya dariku. Ternyata Ibu tidak menjalani proses pengobatan dengan serius. Seperti sengaja tidak memilih jalan operasi, seperti sengaja ingin segera meninggalkanku. Itu yang terpikir olehku saat itu.
Di saat yang bersamaan, karena terkejut Ibu dirawat, aku memacu motorku dari sekolah dan ingin tiba dengan cepat di rumah sakit. Akibatnya aku disenggol mobil yang pengemudinya tidak bertanggung jawab. Penyesalanku yang berikutnya adalah, aku ikut dirawat karena kaki kiriku patah dan mengalami perdarahan serius di tangan karena bergesekan dengan aspal. Ibu menangisiku dan Ayah hanya diam, tidak menunjukkan rasa cemas samasekali.
“Ibu, maafkan Adi. Tolong, maafkan semua perbuatan Adi. Adi janji akan berubah, dan membuat Ibu bangga dengan anak Ibu sendiri.” Kalimat itu ke luar dari mulutku dengan isakan kuat. Aku menangis dengan kondisi yang memprihatinkan, menyeret kaki yang patah dengan tongkat. Memegang tongkat dengan tangan yang dibalut karena luka. Ya Allah, kumohon ampuni aku, dan berilah aku kesempatan lagi untuk membahagiakan Ibuku.
Ibu yang terbaring lemas di ranjang tersenyum dengan linangan air mata. Wajahnya pucat, tapi seperti bercahaya. Aku mendapatkan jawaban, aku tidak bisa lagi memiliki kesempatan untuk memperlihatkan kesuksesanku pada Ibu. Paginya, Ibu menggenggam erat tanganku dan membisikkan kalimat yang tidak bisa kupahami. Ayah dengan cemasnya membisikkan kalimat tauhid pada Ibu. Aku tidak meyangka, Ibu akan pergi secepat itu. Penyesalan dan kesedihan itu sejatinya adalah satu paket yang tidak bisa dielakkan. Rasa sedih dan menyesal yang berlipat-lipat membuatku menangis melepas kepergian Ibu. Ayah menatapku dalam, tidak tahu hendak berkata apa. Saat itu, aku berjanji akan menjadi anak yang sukses.
Aku mengurusi semuanya. Dengan suasana hati yang sendu, aku memandikan dan menjadi imam saat semua keluarga, tetangga, dan beberapa kenalan melaksanakan sholat jenazah untuk Ibu. Aku juga mengurusi pemakaman, meski tidak ikut menggali tanah merah karena kakiku yang masih belum sehat. Sedangkan Ayah? Aku tidak mengerti dan tidak pernah menyangka, Ayah depresi berat hingga mengalami gangguan kejiwaan tanpa sebab yang kuketahui. Saat itu juga, aku memutuskan untuk bekerja. Apa saja, asal bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk pendidikanku sendiri.
Dengan persetujuan Ayah, kami pindah rumah ke rumah yang lebih sederhana. Aku terpaksa mengurung Ayah di sebuah kamar jika aku sekolah atau bekerja sambilan di sore hari. Banyak keluarga atau kenalan yang sesekali datang melihat kondisiku atau pun memberi sedikit uang. Aku pun paham, keluargaku juga hidupnya pas pasan. Sesekali aku menolak pemberian mereka dengan alasan aku sudah mempunyai pekerjaan tetap di sebuah bengkel motor.
Saat lulus SMA, aku memadatkan hariku dengan bekerja dan berusaha menabung untuk bisa lanjut kuliah. Karena terlanjur menjadi anak yang dulunya sering cabut, aku kewalahan mengulang pelajaran dan tidak bisa mendapat nilai yang memenuhi standar untuk beasiswa.
Beberapa bulan setelah kelulusan, salah seorang guruku datang berkunjung untuk melihatku dan Ayah. Awalnya hanya basa-basi, tapi sejak awal aku sudah tahu apa tujuannya. “Ini ada sedikit uang. Bapak berharap Adi bisa membuka usaha sendiri. Ya, misalnya jual bakso atau roti keliling. Roti goreng atau es cendol pun jadi, disamping pekerjaan tetap di bengkel motor. Kalau uangnya sudah terkumpul banyak, barulah Adi lanjut kuliah.”
Kehidupanku yang awalnya susah menjadi sedikit tertolong. Saat ini, aku masih dalam rangka menabung untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Kalau ada peluang beasiswa, aku akan mencobanya. Dengan pekerjaan tetap di bengkel motor dan menjadi tukang roti di sebuah SD, kebutuhan sehari-hariku dan Ayah lambat laun menjadi cukup. Meskipun Ayah masih belum sembuh dari depresi beratnya, aku akan terus berusaha.
Ibu, aku berjanji akan menjadi anak yang membanggakan. Kalau aku sudah berjanji, aku tidak akan mengingkarinya. “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa Ibuku.” Do’aku dalam hati. Maafkan aku Ibu. Kumohon.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Menyisakan rasa sedih berkepanjangan yang tak bisa dielakkan. Bagaikan oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan, kasih sayang seorang Ibu tidak ternilai harganya. Bedo’a dan mohon ampunanNya. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Mei 2012

AKHIR PENANTIAN

Senyum manis itu membayang di pikiranku. Entah sejak kapan, wajahnya selalu terbayang dalam benakku. Terkadang aku merasa bodoh. Memendam perasaan aneh ini sendirian. Getaran itu sangat menggangguku. Getaran akibat perasaan ini berbicara, bahwa aku menyukainya.
Wajar saja jika aku sering melamun saat belajar di kelas. Antara sedih, senang, dan kesal pada diri sendiri. Senyum lelaki itu turut membayang di hatiku. Rama, teman sekelas yang baru akrab denganku.
“Hey! Melamun ya...” Rama mengejutkanku.
“Kenapa memangnya?”
“Nggak ada. Cuma iseng mau ngejutin. Hahaha.” Rama tertawa. Tawa khas yang lumayan aneh dilihat. Ia menghentakkan kaki kanannya ke lantai kelas sambil memukul-mukul meja.
“Ah! Terserahlah.” Aku berpura-pura marah, menjawab candaannya dengan nada tinggi.
“Marah dang...” Rama pergi menuju bangku temannya yang lain. Kembali meninggalkanku. Kembali memberikanku sedikit kesempatan untuk kembali tenggelam dalam lamunan.
Sungguh aneh. Kenapa aku malah memarahinya? Seharusnya aku bersikap lembut padanya.
***
Bel tanda selesainya jam pelajaran terakhir berbunyi hingga tiba ke berbagai sudut ruangan di sekolah. Aku ke luar kelas bersama temanku, Rani. Ia teman yang cukup baik.
“Shinta...besok ujian biologi aja, kan?” tanya Rani padaku.
“Iya rasanya. Nggak ada yang lain.”
“Oh...ya.”
Untuk beberapa detik lamanya kami terdiam sesaat. Aku ingin mengajaknya berbicara karena gerbang sekolah masih terasa jauh.
“Rani...” aku menyapanya pelan.
“Ya? Apa Shin?”
“Aku boleh cerita?”
“Ya, boleh. Apa? Langsung aja.”
“Aku nggak bisa lupain dia.”
“Dia? Siapa ni maksudnya?”
“Rama! Siapa lagi?”
“Eh? Rama? Shinta suka sama Rama?” Rani terus bertanya. Ia tampak terkejut.
Aku mengangguk pelan, namun sedikit ragu “Iya... Rani”
“Hah?”
“Kenapa?”
“Nggak, kaget aja. Aku baru tahu. Sejak kapan, Shin?”
“Ntahlah aku nggak ingat. Padahal dulu biasa aja. Tapi beberapa bulan ini aneh aja Ran. Gimana lagi, aku nggak tahu.”
“Hmm...wajar, puber. Hahaha. Cie...Shinta.” Rani terus menggodaku.
Baru kali ini aku digoda begitu lama. Aku merasa sangat senang. Perasaan ini kembali mendesak ingin ke luar. Getaran hebat ini sungguh membuat hari-hariku terasa menyenangkan.
“Udahlah Ran!” aku ingin membuatnya berhenti menggoda saat gerbang sekolah semakin dekat.
“Udahlah. Bilang aja senang.” Rani tertawa puas.
Aku tersenyum.
***
Saat melihatnya bergurau bersama teman perempuan lain. Saat mereka tertawa hampir bersamaan di depanku. Rasa kesal bercampur sedih itu mulai kukenali. Aku tidak bisa marah. Cemburuku tidak beralasan. Tapi jujur saja, aku ingin sekali menangis.
“Kenapa Shin?” Rani menghampiriku.
“Kenapa? Nggak kenapa-napa.” Aku menjawab pelan, lalu kemudian langsung menundukkan kepala di atas meja sambil memejamkan mata. Malas sekali rasanya melihat Rama yang tersenyum lebar itu.
“Pasti ada sesuatu! Nggak mungkin tidak ada apa-apa Shinta?”
“Ha? Aku lagi malas bicara ni, Ran. Maaf ya.”
Aku merasakan langkah kaki Rani pergi meninggalkan tempat dudukku. Beberapa detik setelah Rani pergi, mejaku terasa kembali bergoyang.
“Siapa lagi ni?” tanyaku sedikit kesal. Begitu kubuka kedua mataku, wajah rama langsung muncul. Begitu dekat. Mata kami bertemu. Ingin rasanya aku tersenyum, namun secara spontan aku langsung mengangkat kepala dan beralih memandang sudut ruangan yang lain.
“Kamu kenapa Shin?” Rama  bertanya ketus. Rama yang seharusnya tidak mempedulikanku itu duduk di sebelahku.
“Apa urusanmu?”
“Aku cuma nanya aja!” Rama berjalan meninggalkan tempat dudukku.
Aku bingung. Tidak mungkin ia marah cuma karena aku tidak menjawab pertanyaannya. Tidak mungkin.
Aku tidak mempedulikan dia yang tiba-tiba berubah sikapnya saat jam pelajaran berikutnya. Dia yang biasanya selalu bertanya padaku saat latihan soal malah diam di tempat duduknya. Sebenarnya aku tidak ingin mengajaknya bicara duluan. Namun ia hanya duduk diam di tempat duduknya. Bahkan tidak mengerjakan latihan soal yang diberikan guru.
“Rama! Udah selesai?” sapaku mendekatinya.
“Belum. Nggak ngerti aku.” Jawabnya datar tanpa menoleh ke arahku.
“Sini kubantu.”
Dengan wajah datar ia bergerak mengambil alat tulis. Tanpa ekspresi.
“Dia kenapa?” pikirku dalam hati.
***
“Aaaaaaaaaa...” aku berteriak di kamar. Bukan karena ada tikus atau karena kakiku terjepit, melainkan karena perasaanku sangat senang. Senang sekali rasanya, hingga ingin berteriak dan berlompat-lompat di kasur kamarku.
Malam itu ruamhku kosong, jadi aku merasa bebas untuk berteriak. Aku sangat senang, karena sms yang kukirim dibalas oleh Rama. Sms dariku, yang menjadi saksi bahwa aku telah mengungkapkan isi hatiku pada Rama, dan Rama ternyata juga memiliki perasaan yang sama.
Aku merasa melayang, karena hatiku sangat senang. Perasaan saat itu tidak tergambarkan oleh kata-kata. Aku juga tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Aku benar-benar terkejut bercampur senang.
Keesokan harinya, aku tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Aku menceritakan semuanya pada Rani, yang tahu tentang perasaanku dengan Rama. Begitu dia mengetahui semua yang kurasakan tadi malam, seperti biasa, ia tidak bisa berhenti untuk menggodaku. Rani tersenyum lebar.
Rama mengatakan padaku, bahwa dia juga menyukaiku. Tetapi, sudah seminggu semenjak sms itu, kami lebih banyak diam. Tidak seperti biasa, kami tidak bercanda dan mengobrol bebas saat di dalam kelas.
“Nggak enak kayak gini.” Aku berkata pelan pada Rani saat pulang.
“Gimana?”
“Dia menjauh Ran!”
“Eh? Dia lagi malu aja nggak? Tunggu dulu, Shin...siapatahu besok dia mau langsung nembak?”
Tidak seperti biasa, godaan Rani kali ini tidak membuatku lebih baik. Aku malah ingin menangis, dan itu benar. Sepulang sekolah, sebelum makan siang, aku melampiaskan semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Wajah Rama muncul dalam benakku.
Aku berpikir bahwa sebaiknya aku tidak perlu mengungkapkan perasaanku. Kalau begini, lebih baik aku tahan saja, dari pada aku tidak bercanda lagi dengannya. Rama, dia begitu sederhana dan polos. Kenapa aku bisa mengutarakan perasaan ini, tanpa ada perubahan yang lebih baik. Rama...
***
“Aku ingin kami seperti dulu lagi. Kalau kayak gini, bagus nggak perlu kukirim sms tu.”
“Sabar, Shin.” Rani hanya berkata pelan, sangat singkat. Aku tahu, dia kehabisan kata untuk menenangkanku.
“Shin...” secara tiba tiba Rama muncul di hadapan kami berdua. Rani yang tadinya duduk di sebelahku malah pergi meninggalkan kami berdua. Ia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum. Entah apa yang dia pikirkan. Kalau sampai ada hal memalukan yang kuhadapi saat bersama Rama, aku akan dendam sekali padanya.
“Shinta?” Rama duduk di tempat Rani duduk sebelumnya.
“Ya...” jawabku datar. Aku gugup.
“Marah, ya?”
“Nggak ah!”
“Masa iya?”
“Iya...”
“Oh!” Rama diam, bersandar di sebelahku.
“Ada perlu apa, Ram?”
“Hmm...aku malu, tapi ini harus dikatakan.” Ia berhenti sejenak. Menarik nafas dalam. Aku gugup, tidak berani menoleh. Apa? Apa yang ingin dia katakan? Apalagi? “Shinta, sebenarnya...kamu mau nggak ....”
Pertanyaan indah itu keluar dari mulut Rama. Suaranya bergetar, matanya berbinar penuh harap. Aku terkejut, jantungku berdetak sangat cepat. Sungguh, aku tidak pernah menyangka dia akan menanyakan hal itu secara langsung. Dia adalah orang pertama, dan semoga aku tidak mengecewakannya.
“Iya, Rama... Tentu.” Jawabku dengan suara parau.
Angin berhembus pelan di jam istirahat waktu itu, menerbangkan beberapa helai daun yang gugur dari pohon di halaman sekolah kami. Aku hanya diam, malu memulai pembicaraan yang lain. Aku tidak punya topik yang bisa kami bahas di saat seperti ini.


Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Maret 2012