Friday, November 8, 2013

CERITA FIRA

Kalau dipikir-pikir, ada banyak cerita cinta di dunia ini. Setiap orang memiliki cerita masing-masing. Mulai dari awal bertemu, awal kedekatan, awal perasaan itu menyesak di dada, awal keanehan pada pikiran atau bayangan suara yang terus terngiang dalam pikiran, atau semacamnya. Benar kata salah seorang penulis terkenal yang karyanya sangat kukagumi. Cerita cinta setiap orang berbeda. Biarpun hampir sama, atau mirip sekalipun, perasaan yang ditimbulkan dari setiap cerita sangatlah banyak. Dan jika merenungkan hal ini, rasa sedihku sering kali hilang. Terbawa pemikiran yang mungkin tidak berguna.
Satu lagi, pagi yang harus kusyukuri. Aku masih bisa bernafas, menghirup oksigen bebas di udara meski dengan alat bantu pernafasan. Aku masih bisa melirik ke luar jendela ruang tempat aku dirawat, melihat ujung pohon-pohon tempat burung bertengger yang kicauannya paling merdu bagiku saat ini. Melihat atap-atap gedung bertingkat, yang sebenarnya sangatlah indah jika kubisa memotret dan menyimpannya sebagai kenangan. Tapi, aku tidak bisa.
Mungkin keluarga besarku berharap agar nyawaku cepat diambil, agar biaya pengobatan yang dikeluarkan tidak semakin bertambah. Aku ini anak angkat, dan tidak mungkin akan diperhatikan lebih. Satu-satunya yang sering berkunjung ke tempatku adalah Ifan, laki-laki sebaya yang sebenarnya adalah saudara sepupu bagiku. Tapi karena aku hanyalah anak angkat, jadi Ifan tidak ada hubungan apa pun denganku. Kuanggap dia sebagai teman. Teman penghibur yang senyumnya sangat kusukai.
Ifan adalah pemain basket di sekolahnya. Ia sudah banyak memenangkan berbagai kompetisi di tingkat kota maupun provinsi dan mendapat berbagai macam medali. Aku yang akhir-akhir ini tidak bisa banyak bicara hanya bisa bergumam pelan jika tubuh tingginya sudah memasuki kamar tempatku dirawat. Ia bisa menjadi seorang yang berbeda setiap kali berkunjung. Kerap kali ia menjadi ahli gizi. Dengan wajah yang sok tapi polos, ia menasihatiku agar tidak memakan pantangan dan tidak bolong-bolong meminum obat. Terkadang ia bisa menjadi motivator, berusaha meyakinkanku bahwa aku bisa sembuh. Sembuh dari kanker darah yang kemungkinannya kecil. Entah berapa persen, aku tidak tahu. Tapi karena dia satu-satunya pengunjung selain perawat dan dokter, aku mengangguk saja. Biarpun air mataku ingin sekali ke luar, tapi aku berusaha menahan agar tidak menangis di depannya.
Ifan juga pernah menjadi guru. Ia mengajarkan atau menceritakan ilmu yang baru bagiku. Yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Terakhir aku bertemu dengannya, ia menjadi seorang penceramah. Mengajarkan bahwa Allah memberi penyakit bukan karena membenciku, tapi justru karena sayang. Jika aku bisa bersabar dan tidak mengeluh, katanya pahala yang kuterima nanti sangatlah besar. Aku tidak begitu banyak tahu mengenai ini. Yang jelas, biarpun tubuhku semakin kurus dan melemah, setidaknya jika tiba waktu sholat aku tetap berusaha untuk mendirikannya, walau hanya dengan berbaring dari tempat tidur.
“Selamat pagi tuan putri.” Ifan melangkah dari pintu kamar. Ia datang lagi. Kali ini entah apa yang dibawanya.
Aku berusaha tersenyum, walau menurutku bibirku tidak berhasil melengkung membentuk sebuah senyuman.
“Fir, tante dan om bakalan pulang dari Paris besok. Kita bakalan dapat oleh-oleh banyak tuh ya?” Karena kalimat Ifan, aku baru sadar bahwa Ayah dan Ibu angkatku sedang berada di Paris, menghadiri pernikahan salah seorang adik mereka yang seharusnya kupanggil Paman.
Hampir saja aku bertanya-tanya kenapa bisa Ifan datang sepagi ini, tapi pikiranku langsung menjawab cepat. Hari ini hari Minggu, Ifan tidak sekolah. Gara-gara entah sudah beberapa bulan dirawat, aku jadi tidak ingat masalah hari atau tanggal.
“Oh ya, ini ada bacaan ringan untukmu Fir. Kuharap kau suka.” Ia memperlihatkan sebuah novel padaku. Ia mendekat, duduk di sebelahku dan menghadapkan cover novel itu. Mataku bergantian menatap novel itu dan menatap wajah Ifan yang tersenyum. Itu karyanya sendiri. Novel itu karyanya sendiri?
“Ternyata naskahku diterima oleh penerbit, dan aku langsung setuju untuk mencetaknya. Ini kuhadiahkan untukmu. Kalau senggang, bacalah. Hobi membacamu belum hilang, kan?” Lagi-lagi Ifan tersenyum. Semakin sering ia tersenyum, entah kenapa perasaanku semakin membaik, tapi beberapa detik kemudian rasa sedih menyesakkan dadaku.
Aku membuka mulut, menggerakkan bibir yang pucatnya entah seperti apa. “Kau hebat. Terimakasih banyak. Aku akan menamatkannya secepat mungkin.” Ucapku pelan, nyaris berbisik.
Beberapa jam kemudian Ifan pamit, hendak bermain basket bersama teman-temannya. Aku senang sekali, mengenal orang seperti dia. Kukira tidak ada lagi yang peduli denganku. Tapi kali ini aku tidak takut kesepian lagi. Meskipun sekali dua atau tiga hari, setidaknya dia bisa meluangkan waktunya untuk berkunjung melihatku. Aku tahu jadwalnya sangat padat. Sekolah, kursus, masuk bimbingan belajar, latihan basket, entah apa lagi.
Dengan tenaga yang masih sedikit, aku berencana untuk membaca novel Ifan seharian. Ia berhasil menerbitkan novel pertamanya. Sebelum aku dirawat, dia juga sudah sibuk mengetik naskah dan meminta pendapatku beberapa kali. Saat kubuka halaman pertama, aku tidak menyangka namaku tertera di sana. Untuk Fira, sepupu sekaligus teman terbaik bagiku. Aku senang tanpa ada sebab yang jelas.
Setelah memperhatikan dan membaca kalimat itu berkali-kali, aku mulai membaca bagian ceritanya. Aku sangat penasaran. Dulu, ia seringkali meminta pendapatku tanpa memperbolehkanku membaca naskahnya satu kalimat pun. Tapi kali ini novel ini dipersembahkan untukku.
Tanpa alasan yang jelas, air mataku menetes. Entah ini hanya kebetulan atau disengaja, tapi bagian pertama ceritanya adalah bagaimana pertemuan kami saat masih berumur enam tahun, saat aku baru diangkat menjadi anak Ayah dan Ibuku saat ini. Hal yang membuatku terkejut adalah cara Ifan menceritakannya di novel ini. Ia menjelaskannya seperti pertemuan yang istimewa, yang sangat berarti baginya. Tanpa pikir panjang aku membalikkan halaman ke bagian tengah novel, membaca sebagian isinya. Itu juga tentang awal masa SMA kami. Mungkin novel ini memang bercerita tentang kami berdua?
Saat lewat tengah malam, suara televisi kukecilkan tapi kubiarkan tetap menyala. Kamarku terlalu sepi jika tidak ada televisi. Aku tetap lanjut membaca, tidak mempedulikan berbagai selang yang mulai tertarik atau tidak pada posisinya di bagian tubuhku. Aku memang suka membaca novel, dan Ifan tahu itu. Novel Ifan tidak tergolong terlalu tebal. Saat aku berhasil membaca bagian belakang novelnya, aku kembali merenung. Bagian akhir itu dibuat-buat. Ifan berkhayal aku menemukan sum-sum tulang belakang yang tepat dan berhasil sembuh dari penyakit ini.
Tapi bagian itu tidak begitu penting bagiku. Aku sadar, bahwa ada perasaan lain yang membuatku ingin selalu dekat dengan Ifan. Ingin melihat senyumnya, atau sekedar bertemu sebentar dengannya. Aku sudah mendapatkan jawaban tidak langsung setelah membaca novel Ifan. Tapi aku tidak tahu, apakah ceritaku ini adalah bagian awal, sudah berada di puncak cerita karena keadaanku yang kritis, atau mungkin sudah di bagian akhir cerita karena perasaan Ifan sudah jelas bagiku? Entahlah.

Biarpun aku tidak pernah bertemu Ayah atau Ibu kandungku, aku tetap mencintai dan mendo’akan mereka. Aku menyayangi mereka, meski wajah mereka tidak terbayang dalam benakku. Kira-kira, begitu jugalah perasaanku pada Ifan, laki-laki yang senyumnya manis itu.


Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
September 2012

No comments:

Post a Comment