Friday, November 8, 2013

MAAFKAN AKU, IBU

Debu jalanan sesekali membuat mataku terpejam dengan refleks karena ada pasir yang beterbangan menerobos ingin masuk ke dalam mata. Cahaya mentari tengah hari terasa sangat menyilaukan dan membuat keringat bercucuran. Aspal terasa panas sekali walau aku sudah menggunakan alas kaki.
Banyak kendaraan yang lalu lalang di jalan utama tengah kota seperti ini. Jelas saja, ini jam istirahat sholat dan makan untuk mereka yang bekerja di kantor. Aku berjalan di pinggiran pertokoan, menuju sebuah bengkel motor tempatku bekerja.
Saat sedang berjalan di pinggiran toko, aku melihat segerombolan anak SMA yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan seorang anak perempuan lewat, berjalan cepat di trotoar pinggiran toko. Dua diantara mereka ada yang merokok. Aku tidak tahan ingin bertanya, kenapa jam segini mereka sedang tidak berada di sekolah? Tapi aku mengurungkan niat karena jelas saja mereka orang-orang keras yang perkataannya pedas dan sikapnya kasar.
Beberapa menit setelah mereka melintas melewatiku, aku teringat sesuatu. Rasa menyesal itu kembali datang. Penyesalan tiada henti meski aku sudah sempat meminta maaf. Rasa sedih yang mengiris hati, menyisakan perih tak tertahankan. Anak-anak SMA yang baru saja lewat mengingatkanku pada pola hidupku beberapa tahun lalu, saat aku masih menjadi pelajar dari sekolah hebat dan terhormat yang namanya harum di provinsi tempatku tinggal. Aku terlambat sadar, dan menyesal setengah matipun tidak ada gunanya.
* * *
Pagi hari beberapa tahun lalu. Pagi hari saat puncak kenakalanku tak bisa dikendalikan.
“Adi, ini uang sekolah, tolong dibayarkan. Jangan dijajankan.” Ibu mengangsurkan uang seratus ribu tujuh lembar padaku yang hendak berangkat ke sekolah.
Aku yang saat itu masih belum sadar menatap Ibuku sendiri dengan tatapan sinis yang tajam dan tanpa merasa bersalah meneriakinya. “Iya, iya! Adi bayarkan nanti, nggak mungkinlah Adi jajankan. Ibu ni!”
Aku tahu, Ibu tidak akan melawanku. Sebenarnya, sejak awal ia sudah paham aku tidak bisa diatur. Gurat tuanya semakin jelas dan aura kesedihan selalu ke luar begitu saja jika aku sudah berjalan ke garasi dan menghidupkan motor. Motor khusus untuk pulang pergi sekolah. Jelas saja, Ibu pasti berdo’a untuk keberhasilanku di sekolah. Ibu merindukan diriku yang berprestasi dan membanggakan seperti dulu, saat aku masih di SMP. Tapi aku sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Meski batinku masih berbisik untuk kebaikan, aku sudah tidak lagi menghiraukan bisikan itu. Hampir setiap hari, aku meneriaki Ibu, melawan kalimat lembutnya dengan kata makian dan kalimat keras yang kasar.
Ibu hanya menggangguk mendengar jawabanku. Ia terlihat sedih. Saat motorku ke luar dari pagar rumah dan melesat hingga ke ujung gang, wajahnya masih berdiri tegak di ujung pintu rumah. Melepasku yang hendak berangkat ke sekolah.
Motorku melesat kencang di jalan raya. Aku sudah punya rencana besar untuk hari ini. Teman-temanku sudah menjanjikan tempat untuk berkumpul, untuk bersenang-senang. Hari ini aku tidak akan ke sekolah. Uang yang diberikan Ibu sangatlah berguna. Aku sudah banyak berhutang rokok di kedai sana sini, dan teman-temanku juga ingin ditraktir. Apa kurangnya uang tujuh ratus ribu tadi?
Dari balik helm, aku tersenyum-senyum dengan sendirinya. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak aku cabut selama di SMA itu. Guru-guru sudah memperingatkan, dan tidak jarang aku dan teman-teman yang merokok di sekolah tertangkap basah. Mereka hanya menegur dan tidak berani menindak lebih lanjut karena teman-temanku yang terlibat adalah anak-anak bos  yang kalau diancam, mereka akan mengadukan guru itu kepada orangtua yang akibatnya, siswa yang salah dibenarkan dan guru yang benar disalahkan.
* * *
Rutinitas cabut dan merokokku bersama teman-teman terus berlanjut. Ibuku selalu memperingatkan dan memberi nasihat setiap kali aku pulang ke rumah untuk makan dan tidur. “Biaya sekolahmu itu tidak murah, nak... Rajinlah belajar. Ibu dan Ayah memilih sekolah yang berfasilitas lengkap dan ternama agar semangat belajarmu terpacu dan bisa tetap juara kelas seperti dulu.” Aku diam, tidak menjawab. Saat itu, aku paling malas mendengar hal ini.
“Adi... Dengarkan Ibu nak.”
“Mmmm?” Aku hanya bergumam sambil menyuap sesendok nasi di meja makan.
“Buatlah orangtuamu bangga. Ibu sudah capek datang ke sekolah karena kasus yang kamu buat. Ibu malu. Rasanya tidak tahu mau ditaruh di  mana muka ini. Dulu, Ibu bangga sekali datang ke sekolah karena anak Ibu berprestasi, memenangkan berbagai lomba. Tapi sekarang ....” Ibu terhenti di akhir kalimatnya.
Aku menoleh, menatapnya lama. Entah kenapa, rasa sayangku muncul. Rindu akan pelukan Ibu ketika aku masih kecil, kira-kira begitulah rasanya. Jelas saja, aku ini anak tunggal yang terlalu diperhatikan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan mengatakannya dengan bangga pada Ibu. “Oh ya, nilai ulangan Adi ada yang sembilan Bu. Beberapa hari yang lalu Adi ulangan Sejarah, dan nggak nyangka bisa dapat sembilan.” Aku berjalan cepat ke kamar, mengambil kertas hasil ulangan, dan menyodorkannya pada Ibu.
Ibu tersenyum. Saking senangnya matanya berkaca-kaca. Padahal itu hanya ulangan harian yang kebetulan aku duduk di dekat teman yang pandai pelajaran Sejarah. Bahasa kasarnya, aku bisa melihat jawaban temanku dan menyalin penuh semuanya. Biarlah. Untuk sesaat, aku ingin sekali kembali membahagiakan Ibu. Sore itu, semangat belajarku muncul tak tertahan.
Tapi, pada malam harinya rasa malasku terasa lebih tinggi. Aku malas membaca buku dan alhasil aku hanya menonton tv di kamar atau bermain game di laptop. Semuanya masih sama. Kebiasaan cabutku, dan sering mendapat teguran guru. Aku tahu, mereka menegur karena sudah kasihan melihat wajah Ibuku yang malu atau sedih karena perbuatanku yang sudah kelewat batas.
Suatu malam, saat Ayah pulang dari tempat kerja, Ayah memukuli punggungku dengan ikat pinggang tanpa alasan yang jelas. Ia marah-marah tidak menentu dan akhirnya menyuruhku tidur di teras rumah. Aku sudah biasa dimarahi, tapi baru kali ini Ayah memukulku. Sakit sekali rasanya. Mataku sampai berair hingga tengah malam. Di luar, angin malam terasa menusuk tulang. Aku masih terjaga saat Ibu diam-diam membuka pintu luar dan tersenyum aneh menatapku. Aku yang tidak tahu diri langsung menerobos masuk tanpa mengatakan apa-apa. Padahal Ibu yang telah menyelamatkan malam mengerikan di teras rumah saat itu.
Paginya Ayah marah besar pada Ibu tapi aku diam saja. Ini salah satu hal yang kusesali diantara banyak hal yang membuatku menyesal. Aku diam di balik pintu kamar, tidak membela Ibu yang beradu mulut dengan Ayah. Hati kecilku ingin sekali meneriaki Ayah, membela Ibu dengan berbagai alasan. Aku ingin sekali bergabung, berteriak seperti mereka. Tapi, lagi-lagi sifat jahatku menahan.
Semuanya masih berlanjut. Jika tidak ada Ayah, aku masih melawan Ibu hingga ia jatuh sakit. Aku tidak pernah tahu. Ibu menyembunyikan penyakit kistanya dariku. Ternyata Ibu tidak menjalani proses pengobatan dengan serius. Seperti sengaja tidak memilih jalan operasi, seperti sengaja ingin segera meninggalkanku. Itu yang terpikir olehku saat itu.
Di saat yang bersamaan, karena terkejut Ibu dirawat, aku memacu motorku dari sekolah dan ingin tiba dengan cepat di rumah sakit. Akibatnya aku disenggol mobil yang pengemudinya tidak bertanggung jawab. Penyesalanku yang berikutnya adalah, aku ikut dirawat karena kaki kiriku patah dan mengalami perdarahan serius di tangan karena bergesekan dengan aspal. Ibu menangisiku dan Ayah hanya diam, tidak menunjukkan rasa cemas samasekali.
“Ibu, maafkan Adi. Tolong, maafkan semua perbuatan Adi. Adi janji akan berubah, dan membuat Ibu bangga dengan anak Ibu sendiri.” Kalimat itu ke luar dari mulutku dengan isakan kuat. Aku menangis dengan kondisi yang memprihatinkan, menyeret kaki yang patah dengan tongkat. Memegang tongkat dengan tangan yang dibalut karena luka. Ya Allah, kumohon ampuni aku, dan berilah aku kesempatan lagi untuk membahagiakan Ibuku.
Ibu yang terbaring lemas di ranjang tersenyum dengan linangan air mata. Wajahnya pucat, tapi seperti bercahaya. Aku mendapatkan jawaban, aku tidak bisa lagi memiliki kesempatan untuk memperlihatkan kesuksesanku pada Ibu. Paginya, Ibu menggenggam erat tanganku dan membisikkan kalimat yang tidak bisa kupahami. Ayah dengan cemasnya membisikkan kalimat tauhid pada Ibu. Aku tidak meyangka, Ibu akan pergi secepat itu. Penyesalan dan kesedihan itu sejatinya adalah satu paket yang tidak bisa dielakkan. Rasa sedih dan menyesal yang berlipat-lipat membuatku menangis melepas kepergian Ibu. Ayah menatapku dalam, tidak tahu hendak berkata apa. Saat itu, aku berjanji akan menjadi anak yang sukses.
Aku mengurusi semuanya. Dengan suasana hati yang sendu, aku memandikan dan menjadi imam saat semua keluarga, tetangga, dan beberapa kenalan melaksanakan sholat jenazah untuk Ibu. Aku juga mengurusi pemakaman, meski tidak ikut menggali tanah merah karena kakiku yang masih belum sehat. Sedangkan Ayah? Aku tidak mengerti dan tidak pernah menyangka, Ayah depresi berat hingga mengalami gangguan kejiwaan tanpa sebab yang kuketahui. Saat itu juga, aku memutuskan untuk bekerja. Apa saja, asal bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk pendidikanku sendiri.
Dengan persetujuan Ayah, kami pindah rumah ke rumah yang lebih sederhana. Aku terpaksa mengurung Ayah di sebuah kamar jika aku sekolah atau bekerja sambilan di sore hari. Banyak keluarga atau kenalan yang sesekali datang melihat kondisiku atau pun memberi sedikit uang. Aku pun paham, keluargaku juga hidupnya pas pasan. Sesekali aku menolak pemberian mereka dengan alasan aku sudah mempunyai pekerjaan tetap di sebuah bengkel motor.
Saat lulus SMA, aku memadatkan hariku dengan bekerja dan berusaha menabung untuk bisa lanjut kuliah. Karena terlanjur menjadi anak yang dulunya sering cabut, aku kewalahan mengulang pelajaran dan tidak bisa mendapat nilai yang memenuhi standar untuk beasiswa.
Beberapa bulan setelah kelulusan, salah seorang guruku datang berkunjung untuk melihatku dan Ayah. Awalnya hanya basa-basi, tapi sejak awal aku sudah tahu apa tujuannya. “Ini ada sedikit uang. Bapak berharap Adi bisa membuka usaha sendiri. Ya, misalnya jual bakso atau roti keliling. Roti goreng atau es cendol pun jadi, disamping pekerjaan tetap di bengkel motor. Kalau uangnya sudah terkumpul banyak, barulah Adi lanjut kuliah.”
Kehidupanku yang awalnya susah menjadi sedikit tertolong. Saat ini, aku masih dalam rangka menabung untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Kalau ada peluang beasiswa, aku akan mencobanya. Dengan pekerjaan tetap di bengkel motor dan menjadi tukang roti di sebuah SD, kebutuhan sehari-hariku dan Ayah lambat laun menjadi cukup. Meskipun Ayah masih belum sembuh dari depresi beratnya, aku akan terus berusaha.
Ibu, aku berjanji akan menjadi anak yang membanggakan. Kalau aku sudah berjanji, aku tidak akan mengingkarinya. “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa Ibuku.” Do’aku dalam hati. Maafkan aku Ibu. Kumohon.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Menyisakan rasa sedih berkepanjangan yang tak bisa dielakkan. Bagaikan oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan, kasih sayang seorang Ibu tidak ternilai harganya. Bedo’a dan mohon ampunanNya. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Mei 2012

No comments:

Post a Comment