Debu jalanan sesekali
membuat mataku terpejam dengan refleks karena ada pasir yang beterbangan
menerobos ingin masuk ke dalam mata. Cahaya mentari tengah hari terasa sangat
menyilaukan dan membuat keringat bercucuran. Aspal terasa panas sekali walau
aku sudah menggunakan alas kaki.
Banyak kendaraan yang
lalu lalang di jalan utama tengah kota seperti ini. Jelas saja, ini jam
istirahat sholat dan makan untuk mereka yang bekerja di kantor. Aku berjalan di
pinggiran pertokoan, menuju sebuah bengkel motor tempatku bekerja.
Saat sedang berjalan di
pinggiran toko, aku melihat segerombolan anak SMA yang terdiri dari beberapa
orang laki-laki dan seorang anak perempuan lewat, berjalan cepat di trotoar
pinggiran toko. Dua diantara mereka ada yang merokok. Aku tidak tahan ingin
bertanya, kenapa jam segini mereka sedang tidak berada di sekolah? Tapi aku
mengurungkan niat karena jelas saja mereka orang-orang keras yang
perkataannya pedas dan sikapnya kasar.
Beberapa menit setelah
mereka melintas melewatiku, aku teringat sesuatu. Rasa menyesal itu kembali
datang. Penyesalan tiada henti meski aku sudah sempat meminta maaf. Rasa sedih
yang mengiris hati, menyisakan perih tak tertahankan. Anak-anak SMA yang baru
saja lewat mengingatkanku pada pola hidupku beberapa tahun lalu, saat
aku masih menjadi pelajar dari sekolah hebat dan terhormat yang namanya harum
di provinsi tempatku tinggal. Aku terlambat sadar, dan menyesal setengah
matipun tidak ada gunanya.
* * *
Pagi hari beberapa
tahun lalu. Pagi hari saat puncak kenakalanku tak bisa dikendalikan.
“Adi, ini uang sekolah,
tolong dibayarkan. Jangan dijajankan.” Ibu mengangsurkan uang seratus ribu
tujuh lembar padaku yang hendak berangkat ke sekolah.
Aku yang saat itu masih
belum sadar menatap Ibuku sendiri dengan tatapan sinis yang tajam dan
tanpa merasa bersalah meneriakinya. “Iya, iya! Adi bayarkan nanti, nggak
mungkinlah Adi jajankan. Ibu ni!”
Aku tahu, Ibu tidak
akan melawanku. Sebenarnya, sejak awal ia sudah paham aku tidak bisa diatur.
Gurat tuanya semakin jelas dan aura kesedihan selalu ke luar begitu saja jika
aku sudah berjalan ke garasi dan menghidupkan motor. Motor khusus untuk pulang
pergi sekolah. Jelas saja, Ibu pasti berdo’a untuk keberhasilanku di sekolah.
Ibu merindukan diriku yang berprestasi dan membanggakan seperti dulu, saat aku
masih di SMP. Tapi aku sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Meski
batinku masih berbisik untuk kebaikan, aku sudah tidak lagi menghiraukan
bisikan itu. Hampir setiap hari, aku meneriaki Ibu, melawan kalimat lembutnya
dengan kata makian dan kalimat keras yang kasar.
Ibu hanya menggangguk
mendengar jawabanku. Ia terlihat sedih. Saat motorku ke luar dari pagar rumah
dan melesat hingga ke ujung gang, wajahnya masih berdiri tegak di ujung pintu
rumah. Melepasku yang hendak berangkat ke sekolah.
Motorku melesat kencang
di jalan raya. Aku sudah punya rencana besar untuk hari ini. Teman-temanku
sudah menjanjikan tempat untuk berkumpul, untuk bersenang-senang. Hari
ini aku tidak akan ke sekolah. Uang yang diberikan Ibu sangatlah berguna. Aku
sudah banyak berhutang rokok di kedai sana sini, dan teman-temanku juga ingin
ditraktir. Apa kurangnya uang tujuh ratus ribu tadi?
Dari balik helm, aku
tersenyum-senyum dengan sendirinya. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak
aku cabut selama di SMA itu. Guru-guru sudah memperingatkan, dan tidak jarang
aku dan teman-teman yang merokok di sekolah tertangkap basah. Mereka hanya
menegur dan tidak berani menindak lebih lanjut karena teman-temanku yang
terlibat adalah anak-anak bos yang kalau
diancam, mereka akan mengadukan guru itu kepada orangtua yang akibatnya, siswa
yang salah dibenarkan dan guru yang benar disalahkan.
* * *
Rutinitas
cabut dan merokokku bersama teman-teman terus berlanjut. Ibuku selalu memperingatkan
dan memberi nasihat setiap kali aku pulang ke rumah untuk makan dan tidur.
“Biaya sekolahmu itu tidak murah, nak... Rajinlah belajar. Ibu dan Ayah memilih
sekolah yang berfasilitas lengkap dan ternama agar semangat belajarmu terpacu
dan bisa tetap juara kelas seperti dulu.” Aku diam, tidak menjawab. Saat itu,
aku paling malas mendengar hal ini.
“Adi... Dengarkan Ibu
nak.”
“Mmmm?” Aku hanya
bergumam sambil menyuap sesendok nasi di meja makan.
“Buatlah orangtuamu
bangga. Ibu sudah capek datang ke sekolah karena kasus yang kamu buat. Ibu
malu. Rasanya tidak tahu mau ditaruh di
mana muka ini. Dulu, Ibu bangga sekali datang ke sekolah karena anak Ibu
berprestasi, memenangkan berbagai lomba. Tapi sekarang ....” Ibu terhenti di
akhir kalimatnya.
Aku menoleh, menatapnya
lama. Entah kenapa, rasa sayangku muncul. Rindu akan pelukan Ibu ketika aku
masih kecil, kira-kira begitulah rasanya. Jelas saja, aku ini anak tunggal yang
terlalu diperhatikan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan mengatakannya dengan
bangga pada Ibu. “Oh ya, nilai ulangan Adi ada yang sembilan Bu. Beberapa hari
yang lalu Adi ulangan Sejarah, dan nggak nyangka bisa dapat sembilan.” Aku
berjalan cepat ke kamar, mengambil kertas hasil ulangan, dan menyodorkannya
pada Ibu.
Ibu tersenyum. Saking
senangnya matanya berkaca-kaca. Padahal itu hanya ulangan harian yang kebetulan
aku duduk di dekat teman yang pandai pelajaran Sejarah. Bahasa kasarnya, aku
bisa melihat jawaban temanku dan menyalin penuh semuanya. Biarlah. Untuk
sesaat, aku ingin sekali kembali membahagiakan Ibu. Sore itu, semangat
belajarku muncul tak tertahan.
Tapi, pada malam
harinya rasa malasku terasa lebih tinggi. Aku malas membaca buku dan alhasil
aku hanya menonton tv di kamar atau bermain game di laptop. Semuanya
masih sama. Kebiasaan cabutku, dan sering mendapat teguran guru. Aku tahu,
mereka menegur karena sudah kasihan melihat wajah Ibuku yang malu atau sedih
karena perbuatanku yang sudah kelewat batas.
Suatu malam, saat Ayah
pulang dari tempat kerja, Ayah memukuli punggungku dengan ikat pinggang tanpa
alasan yang jelas. Ia marah-marah tidak menentu dan akhirnya menyuruhku tidur
di teras rumah. Aku sudah biasa dimarahi, tapi baru kali ini Ayah memukulku.
Sakit sekali rasanya. Mataku sampai berair hingga tengah malam. Di luar, angin
malam terasa menusuk tulang. Aku masih terjaga saat Ibu diam-diam membuka pintu
luar dan tersenyum aneh menatapku. Aku yang tidak tahu diri langsung
menerobos masuk tanpa mengatakan apa-apa. Padahal Ibu yang telah menyelamatkan
malam mengerikan di teras rumah saat itu.
Paginya Ayah marah
besar pada Ibu tapi aku diam saja. Ini salah satu hal yang kusesali diantara
banyak hal yang membuatku menyesal. Aku diam di balik pintu kamar, tidak
membela Ibu yang beradu mulut dengan Ayah. Hati kecilku ingin sekali meneriaki
Ayah, membela Ibu dengan berbagai alasan. Aku ingin sekali bergabung, berteriak
seperti mereka. Tapi, lagi-lagi sifat jahatku menahan.
Semuanya masih
berlanjut. Jika tidak ada Ayah, aku masih melawan Ibu hingga ia jatuh sakit.
Aku tidak pernah tahu. Ibu menyembunyikan penyakit kistanya dariku. Ternyata
Ibu tidak menjalani proses pengobatan dengan serius. Seperti sengaja tidak
memilih jalan operasi, seperti sengaja ingin segera meninggalkanku. Itu
yang terpikir olehku saat itu.
Di saat yang bersamaan,
karena terkejut Ibu dirawat, aku memacu motorku dari sekolah dan ingin tiba
dengan cepat di rumah sakit. Akibatnya aku disenggol mobil yang pengemudinya
tidak bertanggung jawab. Penyesalanku yang berikutnya adalah, aku ikut dirawat
karena kaki kiriku patah dan mengalami perdarahan serius di tangan karena
bergesekan dengan aspal. Ibu menangisiku dan Ayah hanya diam, tidak menunjukkan
rasa cemas samasekali.
“Ibu, maafkan Adi.
Tolong, maafkan semua perbuatan Adi. Adi janji akan berubah, dan membuat Ibu
bangga dengan anak Ibu sendiri.” Kalimat itu ke luar dari mulutku dengan isakan
kuat. Aku menangis dengan kondisi yang memprihatinkan, menyeret kaki yang patah
dengan tongkat. Memegang tongkat dengan tangan yang dibalut karena luka. Ya
Allah, kumohon ampuni aku, dan berilah aku kesempatan lagi untuk membahagiakan
Ibuku.
Ibu yang terbaring
lemas di ranjang tersenyum dengan linangan air mata. Wajahnya pucat, tapi
seperti bercahaya. Aku mendapatkan jawaban, aku tidak bisa lagi memiliki
kesempatan untuk memperlihatkan kesuksesanku pada Ibu. Paginya, Ibu menggenggam
erat tanganku dan membisikkan kalimat yang tidak bisa kupahami. Ayah dengan
cemasnya membisikkan kalimat tauhid pada Ibu. Aku tidak meyangka, Ibu akan
pergi secepat itu. Penyesalan dan kesedihan itu sejatinya adalah satu
paket yang tidak bisa dielakkan. Rasa sedih dan menyesal yang berlipat-lipat
membuatku menangis melepas kepergian Ibu. Ayah menatapku dalam, tidak tahu
hendak berkata apa. Saat itu, aku berjanji akan menjadi anak yang sukses.
Aku mengurusi semuanya.
Dengan suasana hati yang sendu, aku memandikan dan menjadi imam saat semua
keluarga, tetangga, dan beberapa kenalan melaksanakan sholat jenazah untuk Ibu.
Aku juga mengurusi pemakaman, meski tidak ikut menggali tanah merah karena
kakiku yang masih belum sehat. Sedangkan Ayah? Aku tidak mengerti dan tidak
pernah menyangka, Ayah depresi berat hingga mengalami gangguan kejiwaan tanpa
sebab yang kuketahui. Saat itu juga, aku memutuskan untuk bekerja. Apa saja,
asal bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk pendidikanku
sendiri.
Dengan persetujuan Ayah,
kami pindah rumah ke rumah yang lebih sederhana. Aku terpaksa mengurung Ayah di
sebuah kamar jika aku sekolah atau bekerja sambilan di sore hari. Banyak
keluarga atau kenalan yang sesekali datang melihat kondisiku atau pun memberi
sedikit uang. Aku pun paham, keluargaku juga hidupnya pas pasan. Sesekali aku
menolak pemberian mereka dengan alasan aku sudah mempunyai pekerjaan tetap di
sebuah bengkel motor.
Saat lulus SMA, aku
memadatkan hariku dengan bekerja dan berusaha menabung untuk bisa lanjut
kuliah. Karena terlanjur menjadi anak yang dulunya sering cabut, aku kewalahan
mengulang pelajaran dan tidak bisa mendapat nilai yang memenuhi standar untuk
beasiswa.
Beberapa bulan setelah
kelulusan, salah seorang guruku datang berkunjung untuk melihatku dan Ayah.
Awalnya hanya basa-basi, tapi sejak awal aku sudah tahu apa tujuannya. “Ini ada
sedikit uang. Bapak berharap Adi bisa membuka usaha sendiri. Ya, misalnya jual
bakso atau roti keliling. Roti goreng atau es cendol pun jadi, disamping
pekerjaan tetap di bengkel motor. Kalau uangnya sudah terkumpul banyak, barulah
Adi lanjut kuliah.”
Kehidupanku yang
awalnya susah menjadi sedikit tertolong. Saat ini, aku masih dalam rangka
menabung untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Kalau ada peluang beasiswa, aku
akan mencobanya. Dengan pekerjaan tetap di bengkel motor dan menjadi tukang
roti di sebuah SD, kebutuhan sehari-hariku dan Ayah lambat laun menjadi cukup.
Meskipun Ayah masih belum sembuh dari depresi beratnya, aku akan terus
berusaha.
Ibu, aku berjanji akan
menjadi anak yang membanggakan. Kalau aku sudah berjanji, aku tidak akan
mengingkarinya. “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa Ibuku.” Do’aku dalam hati.
Maafkan aku Ibu. Kumohon.
Penyesalan
memang selalu datang terlambat. Menyisakan rasa sedih berkepanjangan yang tak
bisa dielakkan. Bagaikan oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan, kasih sayang
seorang Ibu tidak ternilai harganya. Bedo’a dan mohon ampunanNya. Hanya itu yang bisa kulakukan.
No comments:
Post a Comment