Wednesday, March 11, 2015

LIMA PULUH MENIT

         Gita menelusuri lorong pesawat besar yang dinaikinya untuk kembali ke kota di mana ia tinggal selama sepuluh tahun terakhir. Ia bersama guru-guru dan teman-teman seangkatannya baru saja menyelesaikan perjalanan wisata di akhir tahun ajaran dan akan kembali malam ini, disaat gerimis turun. Wajah-wajah temannya terlihat lelah dan mengantuk. Ia pun merasa begitu. Selama sembilan puluh menit perjalanannya nanti, ia berencana untuk tidur di bangkunya dan tidak akan bercerita dengan teman sebelah, siapa pun teman duduknya.
Gita yang menyandang ransel dan menggandeng satu kardus kecil oleh-oleh untuk keluarganya di rumah terus berjalan sambil melihat nomor yang tertera di bawah kabin pesawat. Berdasarkan tiket yang diterimanya, ia duduk di seat 22A. Begitu ia menemukan nomor yang tertera pada tiket, Gita langsung menaruh bawaannya di dalam kabin dan duduk nyaman di paling ujung, dekat jendela kecil pesawat. Dua bangku di sebelahnya masih kosong. Ia tidak langsung menutup mata. Gita hanya menoleh-noleh ke depan belakang dan ke kanan, melihat-lihat siapa saja yang ada di sekitarnya.
Defy, teman satu kamarnya selama perjalanan wisata seminggu kemarin, duduk berjarak dua deret bangku di depannya. Gita ingin sekali bertukar tempat duduk dengan seseorang di sana, tapi tubuhnya lelah sekali dan ia tidak ingin berdiri lagi. Akhirnya ia duduk diam, melihat wajah-wajah temannya yang lewat melihat nomor seat yang ada di bawah kabin.
Belum juga ada yang datang untuk duduk di seat 22B dan 22C, bangku di sebelahnya. Gita memperhatikan wajah lelah teman-temannya yang lewat. Mereka sudah ada di bandara sejak empat jam yang lalu, menunggu keberangkatan yang ternyata didelay. Padahal malam harinya mereka hanya tidur beberapa jam karena baru sampai di hotel lewat pukul satu dini hari. Pagi harinya langsung jalan-jalan, mengunjungi tempat tujuan terakhir dan langsung menuju bandara dengan buru-buru.
Perut Gita berbunyi. Ia baru ingat kalau sejak pukul empat tadi ia belum makan apa-apa. Persediaan makanan yang ada di ranselnya sudah habis. Sebotol air mineral pun tidak ada. Gita menarik nafas panjang, berharap perjalanannya tidak akan terasa lambat dan ia bisa sampai rumah secepatnya. Yang ada di dalam pikirannya hanya makan, minum, tidur, dan mandi. Badannya sudah terasa lengket karena berkeringat saat jalan-jalan tadi.
Ryan yang bertubuh tinggi berjalan di antara deretan bangku-bangku, melihat nomor seat di bawah kabin. Sambil menyandang ransel dan menggenggam ponsel serta tiket, matanya liar melihat nomor-nomor yang tertera. Ia ingin melangkah lebih cepat, tapi orang-orang yang ada di depannya menghalang, membuatnya tidak bisa leluasa melangkah.
Ryan hampir tiba di deretan bangkunya. Begitu melihat nomor di tiketnya sama dengan nomor yang tertera di bawah kabin, ia melihat ke arah deretan bangku itu. Rasanya ia ingin sekali berteriak. Ia tersenyum samar, menyembunyikan rasa girangnya. Gita akan duduk bersebelahan dengannya. Selama perjalanan wisata seminggu ini, ia banyak beralasan agar bisa terus berada di dekat Gita. Saat makan siang, ia memilih meja yang sama dengan Gita biarpun perempuan itu tidak terlalu menghiraukan. Saat jalan-jalan, membeli oleh-oleh, ia selalu mengikuti Gita dan teman-temannya dari belakang. Satu yang sangat disayangkan olehnya, yaitu bus. Ia tidak satu bus dengan Gita. Tapi hal itu tidak lagi menjadi masalah saat ini. Ia akan duduk di sebelah Gita. Ryan mengucap syukur berkali-kali sambil memasukkan ranselnya ke dalam kabin.
Gita menguap. Ia langsung menoleh begitu sadar ada seseorang yang berdiri di dekat bangkunya. Ryan melihatnya sekilas, lantas mengalihkan pandangan ke kabin. Laki-laki itu langsung memasukkan ranselnya ke dalam kabin dan duduk di sebelah Gita. Perasaan Gita melambung entah ke mana. Ia tidak menyangka akan duduk bersebelahan dengan Ryan, anak juara olimpiade matematika yang diam-diam dikaguminya. Selama perjalanan wisata ini mereka baru sekali bicara, saat Gita meninggalkan dompetnya di sebuah rumah makan tempat mereka makan siang. Gita ingin sekali mengobrol panjang lebar dengan Ryan. Tapi ia merasa tidak penting karena ia selalu berpikiran bahwa tidak mungkin Ryan mengenalnya. Biarpun teman satu sekolah, bisa saja Ryan hanya mengenali wajahnya sebagai teman di sekolah yang sama, bukan mengenali namanya.
Ryan menyandarkan punggung, menyembunyikan rasa gugupnya. Beberapa detik kemudian Indra datang, duduk di sebelah Ryan. Jadilah Gita satu-satunya perempuan yang ada di deretan itu. Indra langsung menutup matanya biarpun pesawat belum lepas landas. Ryan tidak punya teman bicara, dan apa yang dilakukannya jadi serba salah.
“Git, tolong ambilkan majalah itu dong.” Kata Ryan cepat. Suaranya bergetar. Ia menunjuk sebuah majalah yang terselip di depan bangku Gita.
Gita terkejut namanya dipanggil. Ia langsung mengambil majalah yang ditunjuk dan memberikannya pada Ryan sambil bersorak girang dalam hati karena ternyata Ryan mengenalnya, mengetahui namanya. Gita menoleh ke luar melalui jendela kecil pesawat. Ia merasa salah tingkah jika di dekat Ryan. Bahkan suaranya tidak bisa keluar.
Thank’s.” Ujar Ryan kemudian.
Gita mengalihkan pandangannya sebentar, melihat wajah laki-laki itu sekilas. “Sama-sama.” Jawab Gita gugup. Ia kembali menatap ke luar.
Pesawat mundur dengan pelan. Pramugari sudah mulai mengoceh, memberikan petunjuk keselamatan dan sebagainya. Gita tidak bisa konsentrasi mendengar kalimat-kalimat pramugari itu meskipun ia sudah hafal benar apa saja yang disampaikan. Di sebelahnya, Ryan juga sedang memperhatikan peragaan-peragaan yang dilakukan pramugari sementara Indra sudah masuk ke alam mimpi.
Beberapa saat setelah pesawat melaju kencang dan terangkat ke udara, Ryan menoleh ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Gita mengikuti gerakan Ryan, penasaran dengan apa yang dilihat Ryan. Padahal beberapa detik sebelumnya ia masih sibuk melihat ke luar, menatap daratan yang berkerlap-kerlip karena lampu yang berwarna-warni di waktu malam.
“Semuanya langsung tidur.” Gita tertawa pelan.
Ryan menoleh, menatap Gita. Ia tersenyum sambil berkata, “Begitulah. Semuanya kelelahan. Aku juga, tadi malam nggak bisa tidur. Sampai di hotel udah lewat pukul satu. Belum lagi masuk ke kamar dan membongkar barang-barang.”
Gita senang sekali. Rasanya ia ingin berteriak. Akhirnya aku bisa ngobrol panjang lebar dengan Ryan! Gita tidak menyangka Ryan akan membuka pembicaraan dengannya. Di antara orang-orang yang sudah tertidur pulas, Gita dan Ryan mengobrol panjang lebar. Sesekali Ryan membuat lelucon dan teka-teki lucu yang membuat mereka tertawa bersama sambil menutup mulut agar tidak menimbulkan suara keras yang bisa mengganggu teman-teman di sekeliling.
“Lalu kenapa kau tidak tidur saja? Sekali memejamkan mata, pasti langsung tertidur. Kan dari kemarin belum ada tidur?” tanya Gita dengan suara pelan. Ryan sedikit menggeser kepalanya, agar telinganya bisa menangkap apa yang Gita tanyakan.
“Nggaklah. Tadi waktu di bus aku udah tidur. Kau sendiri bagaimana? Kenapa nggak tidur saja?” Ryan balik bertanya.
“Tadinya aku udah berniat untuk tidur. Tapi nggak jadi.”
“Oh... Kenapa?”
“Lapar. Jadi susah tidur.”
“Kenapa nggak bilang dari tadi? Aku ada sedikit roti, mungkin ...” belum sempat Ryan menyelesaikan kalimatnya, Gita memotong pelan. “Nggak usah. Nanti begitu sampai aku juga bisa makan.”
“Nanti sakit perut.”
Gita terdiam beberapa saat. Entah kenapa kalimat yang mungkin biasa Ryan ucapkan pada teman-temannya yang lain itu begitu berharga. Ia tersenyum tanggung dan meraih potongan roti yang diangsurkan Ryan padanya.
“Itu bukan bekas gigitan. Tadi aku potong dikit waktu di ruang tunggu.”
“Terima kasih.” Ujar Gita sambil berusaha mengulum senyum.
Ryan tersenyum. Tiba-tiba lampu kabin berkedip dan pesawat bergoyang, seperti tiba-tiba terjatuh ke bawah. Ryan menatap Gita sekilas. Wajah mereka berdua berubah pucat. Teman-teman lain yang sudah tertidur pulas terbangun begitu saja sambil sibuk menoleh dan bertanya “Ada apa?” pada teman sebelah mereka.
Belum sempat para penumpang mengambil kesimpulan, seorang pramugari langsung berbicara, mengumumkan pada seluruh penumpang untuk menggunakan pelampung yang disediakan di bawah tempat duduk masing-masing karena akan ada pendaratan darurat di laut. Semua tangan dengan gesit meraih dan memakainya, sesuai petunjuk yang telah berulang-ulang mereka lihat dan dengarkan setiap kali naik pesawat. Suasana menjadi panik dan beberapa orang sibuk berdoa untuk keselamatan. Pramugari memandu para penumpang untuk ke luar melalui pintu darurat dan turun menceburkan diri ke laut.
Ryan membantu Gita yang kesulitan mengenakan pelampungnya. “Jangan takut, Gita...” kata Ryan pelan saat melihat wajah Gita yang ketakutan. Tubuh perempuan itu bergetar.
“Aku ...” Gita menangis tiba-tiba. Ia tidak sanggup mengucapkan satu patah kata pun. Ia benar-benar ketakutan dan berdoa berulang-ulang di dalam hatinya.
“Ayo,” Ryan tersenyum kecil. Ia meraih jemari Gita dan ikut berbaris untuk ke luar melalui pintu darurat. Ah, sebenarnya Ryan punya kenangan pahit dengan kecelakaan pesawat yang tidak Gita ketahui. Masa lalu mengenaskan yang membuatnya kehilangan Ayah karena Ryan hanyalah salah seorang diantara sedikit orang yang selamat pada waktu itu.
Ryan masih menggenggam tangan Gita yang dingin dengan erat. Ia menggigit bibir. Satu persatu penumpang sudah berangsur turun. Mereka memang tidak berada di deretan paling belakang untuk turun, tapi Ryan cemas minta ampun. Ia merasa tidak akan sempat turun. Hal yang dipikirkannya sekarang adalah, sebenarnya ada apa dengan pesawat ini? Kerusakan mesin atau apa? Ya Tuhan, Ryan bahkan tidak bisa berenang. Ia takut sekali untuk turun ke laut lepas, tapi ia tidak berani hanya berdiam diri di dalam pesawat.
Gita menatap Ryan, memperhatikan kegelisahan lelaki itu. Gita mulai merasa ada yang melindunginya. “Jangan takut, kau kan pakai pelampung.” Ujar Gita pelan menenangkan. Ia tahu bahwa Ryan tidak bisa berenang. Gita memang benar-benar cocok dikatakan sebagai penggemar rahasia.
Ryan menoleh, terkejut dengan ucapan Gita. Di tengah keributan itu, entah kenapa, rasa cemas yang ada dalam diri Ryan hilang, terusir begitu saja. Ia tersenyum tipis, tapi dalam hati kecilnya, senyumnya sangatlah lebar. Selebar senyuman Gita yang sering diperhatikannya jika ia secara tidak sengaja lewat di depan Gita yang sedang duduk dengan teman-temannya.
***
Ryan dan Gita ditemukan selamat bersama beberapa penumpang lainnya tidak lama setelah pesawat yang mereka tumpangi dikabarkan jatuh di laut lepas. “Hei coba tebak, kita ada di dekat pulau Jawa atau Sumatera?” Ryan mencoba menghangatkan suasana.
Gita tersenyum getir. Ryan masih menggenggam tangan Gita, dan sejak mereka turun ke air, Ryan tidak pernah melepaskan genggaman itu. Lihatlah sekarang, mata Gita sudah mulai redup, dan wajahnya pucat sekali. Ryan merapatkan selimut yang diberikan oleh tim pencari yang menyelamatkan mereka. Ia juga sebenarnya hampir hilang kesadaran. Tapi hatinya merasa harus terus terjaga untuk perempuan yang ada di sebelahnya itu.
***
Suatu pagi di tahun ajaran baru, Gita menelusuri koridor sekolah. Ia berjalan sendiri sambil menggenggam buku-buku pelajaran yang baru dibagikan. Gita hendak menaruh semua itu di lockernya saat ia sadar bahwa Ryan juga sedang berjalan sendiri, memasukkan kedua tangan ke saku celana sambil menyandang tas.
Ryan yang baru sadar akan berpapasan dengan Gita mulai salah tingkah. Ia tidak tahu harus menyapa atau tidak. Harus buang muka atau sekedar tersenyum. Sejak mereka di bawa ke rumah sakit terdekat setelah kecelakaan pesawat itu, mereka tidak pernah berkomunikasi lagi.
Langkah Gita semakin cepat, dan jaraknya dengan Ryan tidak lagi jauh. Beberapa detik lagi ia akan berpapasan dengan Ryan. Ia berfikir akan menyapa Ryan saja, karena ia merasa semenjak kecelakaan itu, mereka sudah menjadi teman baik. Tapi niatnya berubah kurang dari satu detik kemudian.
Ryan dan Gita berpapasan di koridor sekolah dengan pandangan yang saling bertemu. Karena salah tingkah, keduanya tidak saling menyapa, tidak saling tersenyum. Dan akhirnya, mereka malah mengalihkan pandangan. Sejak awal Gita sudah merasa ada yang salah dengan dirinya karena menyukai Ryan yang memang idola perempuan satu sekolah. Gita tidak tahu, bahwa sebenarnya Ryan yang pemalu diam-diam juga menyukainya.
Gita berpikir, setidaknya ia mempunyai kenangan kecil bersama Ryan. Lima puluh menit selama pesawat mengudara saat itu adalah kenangan yang benar-benar berarti. Gita tersenyum samar sambil terus melangkahkan kaki. Ketika ia berbelok di ujung koridor, Ryan menoleh dan tersenyum kecil, seolah menjawab senyuman samar perempuan itu.

Usy  Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Februari 2015