Gita
menelusuri lorong pesawat besar yang dinaikinya untuk kembali ke kota di mana
ia tinggal selama sepuluh tahun terakhir. Ia bersama guru-guru dan teman-teman
seangkatannya baru saja menyelesaikan perjalanan wisata di akhir tahun ajaran
dan akan kembali malam ini, disaat gerimis turun. Wajah-wajah temannya terlihat
lelah dan mengantuk. Ia pun merasa begitu. Selama sembilan puluh menit
perjalanannya nanti, ia berencana untuk tidur di bangkunya dan tidak akan bercerita
dengan teman sebelah, siapa pun teman duduknya.
Gita
yang menyandang ransel dan menggandeng satu kardus kecil oleh-oleh untuk
keluarganya di rumah terus berjalan sambil melihat nomor yang tertera di bawah
kabin pesawat. Berdasarkan tiket yang diterimanya, ia duduk di seat 22A.
Begitu ia menemukan nomor yang tertera pada tiket, Gita langsung menaruh
bawaannya di dalam kabin dan duduk nyaman di paling ujung, dekat jendela kecil
pesawat. Dua bangku di sebelahnya masih kosong. Ia tidak langsung menutup mata.
Gita hanya menoleh-noleh ke depan belakang dan ke kanan, melihat-lihat siapa
saja yang ada di sekitarnya.
Defy, teman satu kamarnya selama perjalanan wisata
seminggu kemarin, duduk berjarak dua deret bangku di depannya. Gita ingin
sekali bertukar tempat duduk dengan seseorang di sana, tapi tubuhnya lelah
sekali dan ia tidak ingin berdiri lagi. Akhirnya ia duduk diam, melihat
wajah-wajah temannya yang lewat melihat nomor seat yang ada di bawah
kabin.
Belum
juga ada yang datang untuk duduk di seat 22B dan 22C, bangku di
sebelahnya. Gita memperhatikan wajah lelah teman-temannya yang lewat. Mereka
sudah ada di bandara sejak empat jam yang lalu, menunggu keberangkatan yang
ternyata didelay. Padahal malam harinya mereka hanya tidur beberapa jam karena baru sampai di hotel lewat
pukul satu dini hari. Pagi harinya langsung jalan-jalan, mengunjungi tempat
tujuan terakhir dan langsung menuju bandara dengan buru-buru.
Perut
Gita berbunyi. Ia baru ingat kalau sejak pukul empat tadi ia belum makan
apa-apa. Persediaan makanan yang ada di ranselnya sudah habis. Sebotol air
mineral pun tidak ada. Gita menarik nafas panjang, berharap perjalanannya tidak
akan terasa lambat dan ia bisa sampai rumah secepatnya. Yang ada di dalam
pikirannya hanya makan, minum, tidur, dan mandi. Badannya sudah terasa lengket
karena berkeringat saat jalan-jalan tadi.
Ryan
yang bertubuh tinggi berjalan di antara deretan bangku-bangku, melihat nomor seat
di bawah kabin. Sambil menyandang ransel dan menggenggam ponsel serta
tiket, matanya liar melihat nomor-nomor yang tertera. Ia ingin melangkah lebih
cepat, tapi orang-orang yang ada di depannya menghalang, membuatnya tidak bisa
leluasa melangkah.
Ryan
hampir tiba di deretan bangkunya. Begitu melihat nomor di tiketnya sama dengan
nomor yang tertera di bawah kabin, ia melihat ke arah deretan bangku itu.
Rasanya ia ingin sekali berteriak. Ia tersenyum samar, menyembunyikan rasa
girangnya. Gita akan duduk bersebelahan dengannya. Selama perjalanan wisata
seminggu ini, ia banyak beralasan agar bisa terus berada di dekat Gita. Saat
makan siang, ia memilih meja yang sama dengan Gita biarpun perempuan itu tidak
terlalu menghiraukan. Saat jalan-jalan, membeli oleh-oleh, ia selalu mengikuti
Gita dan teman-temannya dari belakang. Satu yang sangat disayangkan olehnya,
yaitu bus. Ia tidak satu bus dengan Gita. Tapi hal itu tidak lagi menjadi
masalah saat ini. Ia akan duduk di sebelah Gita. Ryan mengucap syukur
berkali-kali sambil memasukkan ranselnya ke dalam kabin.
Gita
menguap. Ia langsung menoleh begitu sadar ada seseorang yang berdiri di dekat
bangkunya. Ryan melihatnya sekilas, lantas mengalihkan pandangan ke kabin.
Laki-laki itu langsung memasukkan ranselnya ke dalam kabin dan duduk di sebelah
Gita. Perasaan Gita melambung entah ke mana. Ia tidak menyangka akan duduk
bersebelahan dengan Ryan, anak juara
olimpiade matematika
yang diam-diam dikaguminya. Selama perjalanan wisata ini mereka baru sekali
bicara, saat Gita meninggalkan dompetnya di sebuah rumah makan tempat mereka
makan siang. Gita ingin sekali mengobrol panjang lebar dengan Ryan. Tapi ia
merasa tidak penting karena ia selalu berpikiran bahwa tidak mungkin Ryan
mengenalnya. Biarpun teman satu sekolah, bisa saja Ryan hanya mengenali
wajahnya sebagai teman di sekolah yang sama, bukan mengenali namanya.
Ryan
menyandarkan punggung, menyembunyikan rasa gugupnya. Beberapa detik kemudian
Indra datang, duduk di sebelah Ryan. Jadilah Gita satu-satunya perempuan yang
ada di deretan itu. Indra langsung menutup matanya biarpun pesawat belum lepas
landas. Ryan tidak punya teman bicara, dan apa yang dilakukannya jadi serba
salah.
“Git,
tolong ambilkan majalah itu dong.” Kata Ryan cepat. Suaranya bergetar. Ia menunjuk sebuah majalah yang terselip di depan
bangku Gita.
Gita
terkejut namanya dipanggil. Ia langsung mengambil majalah yang ditunjuk dan memberikannya pada Ryan sambil
bersorak girang dalam hati karena ternyata Ryan mengenalnya, mengetahui
namanya. Gita menoleh ke luar melalui jendela kecil pesawat. Ia merasa salah
tingkah jika di dekat Ryan. Bahkan suaranya tidak bisa keluar.
“Thank’s.”
Ujar Ryan kemudian.
Gita
mengalihkan pandangannya sebentar, melihat wajah laki-laki itu sekilas.
“Sama-sama.” Jawab Gita gugup. Ia kembali menatap ke luar.
Pesawat
mundur dengan pelan. Pramugari sudah mulai mengoceh, memberikan petunjuk
keselamatan dan sebagainya. Gita tidak bisa konsentrasi mendengar
kalimat-kalimat pramugari itu meskipun ia sudah hafal benar apa saja yang
disampaikan. Di sebelahnya, Ryan juga sedang memperhatikan peragaan-peragaan
yang dilakukan pramugari sementara Indra sudah masuk ke alam mimpi.
Beberapa
saat setelah pesawat melaju kencang dan terangkat ke udara, Ryan menoleh ke
depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Gita mengikuti gerakan Ryan,
penasaran dengan apa yang dilihat Ryan. Padahal beberapa detik sebelumnya ia
masih sibuk melihat ke luar, menatap daratan yang berkerlap-kerlip karena lampu
yang berwarna-warni di waktu malam.
“Semuanya
langsung tidur.” Gita tertawa pelan.
Ryan
menoleh, menatap Gita. Ia tersenyum sambil berkata, “Begitulah. Semuanya
kelelahan. Aku juga, tadi malam
nggak bisa tidur. Sampai di hotel udah lewat pukul satu. Belum lagi masuk ke
kamar dan membongkar barang-barang.”
Gita
senang sekali. Rasanya ia ingin berteriak. Akhirnya aku bisa ngobrol panjang
lebar dengan Ryan! Gita tidak menyangka Ryan akan membuka pembicaraan
dengannya. Di antara orang-orang yang sudah tertidur pulas, Gita dan Ryan
mengobrol panjang lebar. Sesekali Ryan membuat lelucon dan teka-teki lucu yang
membuat mereka tertawa bersama sambil menutup mulut agar tidak menimbulkan
suara keras yang bisa mengganggu teman-teman di sekeliling.
“Lalu
kenapa kau tidak tidur saja? Sekali memejamkan mata, pasti langsung tertidur.
Kan dari kemarin belum ada tidur?” tanya Gita dengan suara pelan. Ryan sedikit
menggeser kepalanya, agar telinganya bisa menangkap apa yang Gita tanyakan.
“Nggaklah.
Tadi waktu di bus aku udah tidur. Kau sendiri bagaimana? Kenapa nggak tidur saja?” Ryan balik bertanya.
“Tadinya
aku udah berniat untuk tidur. Tapi nggak jadi.”
“Oh...
Kenapa?”
“Lapar.
Jadi susah tidur.”
“Kenapa
nggak bilang dari tadi? Aku ada sedikit roti, mungkin ...” belum sempat Ryan
menyelesaikan kalimatnya, Gita memotong pelan. “Nggak usah. Nanti begitu sampai
aku juga bisa makan.”
“Nanti
sakit perut.”
Gita
terdiam beberapa saat. Entah kenapa kalimat yang mungkin biasa Ryan ucapkan
pada teman-temannya yang lain itu begitu berharga. Ia tersenyum tanggung dan
meraih potongan roti yang diangsurkan Ryan padanya.
“Itu
bukan bekas gigitan. Tadi aku potong dikit waktu di ruang tunggu.”
“Terima kasih.”
Ujar Gita sambil berusaha mengulum senyum.
Ryan
tersenyum. Tiba-tiba lampu kabin berkedip dan pesawat bergoyang, seperti
tiba-tiba terjatuh ke bawah. Ryan menatap Gita sekilas. Wajah mereka berdua berubah pucat. Teman-teman lain yang sudah tertidur
pulas terbangun begitu saja sambil sibuk menoleh dan bertanya “Ada apa?” pada
teman sebelah mereka.
Belum
sempat para penumpang mengambil kesimpulan, seorang pramugari langsung
berbicara, mengumumkan pada seluruh penumpang untuk menggunakan pelampung yang
disediakan di bawah tempat duduk masing-masing karena akan ada pendaratan
darurat di laut. Semua tangan dengan gesit meraih dan memakainya,
sesuai petunjuk yang telah berulang-ulang mereka lihat dan dengarkan setiap
kali naik pesawat. Suasana menjadi panik dan beberapa orang sibuk berdoa untuk
keselamatan. Pramugari memandu para penumpang untuk ke luar melalui pintu
darurat dan turun menceburkan diri ke laut.
Ryan
membantu Gita yang kesulitan mengenakan pelampungnya. “Jangan takut, Gita...”
kata Ryan pelan saat melihat wajah Gita yang ketakutan. Tubuh perempuan itu
bergetar.
“Aku
...” Gita menangis tiba-tiba. Ia tidak sanggup mengucapkan satu patah kata pun.
Ia benar-benar ketakutan dan berdoa berulang-ulang di dalam hatinya.
“Ayo,”
Ryan tersenyum kecil. Ia meraih jemari Gita dan ikut berbaris untuk ke luar
melalui pintu darurat. Ah, sebenarnya Ryan punya kenangan pahit dengan
kecelakaan pesawat yang tidak Gita ketahui. Masa lalu mengenaskan yang
membuatnya kehilangan Ayah karena Ryan
hanyalah salah seorang diantara sedikit orang yang selamat pada waktu itu.
Ryan
masih menggenggam tangan Gita yang dingin dengan erat. Ia menggigit bibir. Satu persatu penumpang sudah berangsur turun. Mereka
memang tidak berada di deretan paling belakang untuk turun, tapi Ryan cemas
minta ampun. Ia merasa tidak akan sempat turun. Hal yang dipikirkannya sekarang
adalah, sebenarnya ada apa dengan pesawat ini? Kerusakan mesin atau apa? Ya
Tuhan, Ryan bahkan tidak bisa berenang. Ia takut sekali untuk turun ke laut
lepas, tapi ia tidak berani hanya berdiam diri di
dalam pesawat.
Gita
menatap Ryan, memperhatikan kegelisahan lelaki itu. Gita mulai merasa ada yang
melindunginya. “Jangan takut, kau kan pakai pelampung.” Ujar Gita pelan
menenangkan. Ia tahu bahwa Ryan tidak bisa berenang. Gita memang benar-benar
cocok dikatakan sebagai penggemar rahasia.
Ryan
menoleh, terkejut dengan ucapan Gita. Di tengah keributan itu, entah kenapa,
rasa cemas yang ada dalam diri Ryan hilang, terusir begitu saja. Ia tersenyum
tipis, tapi dalam hati kecilnya, senyumnya sangatlah lebar. Selebar senyuman
Gita yang sering diperhatikannya jika ia secara tidak sengaja lewat di depan
Gita yang sedang duduk dengan teman-temannya.
***
Ryan
dan Gita ditemukan selamat bersama beberapa penumpang lainnya tidak lama
setelah pesawat yang mereka tumpangi dikabarkan jatuh di laut lepas.
“Hei coba tebak, kita ada di dekat pulau Jawa atau Sumatera?” Ryan mencoba menghangatkan suasana.
Gita
tersenyum getir. Ryan masih menggenggam tangan Gita, dan sejak mereka turun ke
air, Ryan tidak pernah melepaskan genggaman itu. Lihatlah sekarang, mata Gita
sudah mulai redup, dan wajahnya pucat sekali. Ryan merapatkan
selimut yang diberikan oleh tim pencari yang menyelamatkan mereka. Ia
juga sebenarnya hampir hilang kesadaran. Tapi hatinya merasa harus terus terjaga untuk perempuan yang ada di
sebelahnya itu.
***
Suatu
pagi di tahun ajaran baru, Gita menelusuri koridor sekolah. Ia berjalan sendiri
sambil menggenggam buku-buku pelajaran yang baru dibagikan. Gita hendak menaruh
semua itu di lockernya saat ia sadar bahwa Ryan juga sedang berjalan
sendiri, memasukkan kedua tangan ke saku celana sambil menyandang tas.
Ryan
yang baru sadar akan berpapasan dengan Gita mulai salah tingkah. Ia tidak tahu
harus menyapa atau tidak. Harus buang muka atau sekedar tersenyum. Sejak mereka
di bawa ke rumah sakit terdekat setelah kecelakaan pesawat itu, mereka tidak
pernah berkomunikasi lagi.
Langkah
Gita semakin cepat, dan jaraknya dengan Ryan tidak lagi jauh. Beberapa detik
lagi ia akan berpapasan dengan Ryan. Ia berfikir akan menyapa Ryan saja, karena
ia merasa semenjak kecelakaan itu, mereka sudah menjadi
teman baik. Tapi niatnya berubah kurang dari satu detik kemudian.
Ryan
dan Gita berpapasan di koridor sekolah dengan pandangan yang saling bertemu.
Karena salah tingkah, keduanya tidak saling menyapa, tidak saling tersenyum.
Dan akhirnya, mereka malah mengalihkan pandangan. Sejak awal Gita sudah merasa
ada yang salah dengan dirinya karena menyukai Ryan yang memang idola perempuan
satu sekolah. Gita tidak tahu, bahwa sebenarnya Ryan yang pemalu diam-diam juga
menyukainya.
Gita
berpikir, setidaknya ia mempunyai kenangan kecil bersama Ryan. Lima puluh menit
selama pesawat mengudara saat itu adalah kenangan yang benar-benar berarti.
Gita tersenyum samar sambil terus melangkahkan kaki. Ketika ia berbelok di
ujung koridor, Ryan menoleh dan tersenyum kecil, seolah menjawab senyuman samar
perempuan itu.
Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Februari 2015
No comments:
Post a Comment