Kalau dipikir-pikir,
ada banyak cerita cinta di dunia ini. Setiap orang memiliki cerita
masing-masing. Mulai dari awal bertemu, awal kedekatan, awal perasaan itu
menyesak di dada, awal keanehan pada pikiran atau bayangan suara yang terus
terngiang dalam pikiran, atau semacamnya. Benar kata salah seorang penulis
terkenal yang karyanya sangat kukagumi. Cerita cinta setiap orang berbeda.
Biarpun hampir sama, atau mirip sekalipun, perasaan yang ditimbulkan dari
setiap cerita sangatlah banyak. Dan jika merenungkan hal ini, rasa sedihku
sering kali hilang. Terbawa pemikiran yang mungkin tidak berguna.
Satu lagi, pagi yang
harus kusyukuri. Aku masih bisa bernafas, menghirup oksigen bebas di udara
meski dengan alat bantu pernafasan. Aku masih bisa melirik ke luar jendela
ruang tempat aku dirawat, melihat ujung pohon-pohon tempat burung bertengger
yang kicauannya paling merdu bagiku saat ini. Melihat atap-atap gedung
bertingkat, yang sebenarnya sangatlah indah jika kubisa memotret dan
menyimpannya sebagai kenangan. Tapi, aku tidak bisa.
Mungkin keluarga
besarku berharap agar nyawaku cepat diambil, agar biaya pengobatan yang
dikeluarkan tidak semakin bertambah. Aku ini anak angkat, dan tidak mungkin akan
diperhatikan lebih. Satu-satunya yang sering berkunjung ke tempatku adalah
Ifan, laki-laki sebaya yang sebenarnya adalah saudara sepupu bagiku. Tapi
karena aku hanyalah anak angkat, jadi Ifan tidak ada hubungan apa pun denganku.
Kuanggap dia sebagai teman. Teman penghibur yang senyumnya sangat kusukai.
Ifan adalah pemain
basket di sekolahnya. Ia sudah banyak memenangkan berbagai kompetisi di tingkat
kota maupun provinsi dan mendapat berbagai macam medali. Aku yang akhir-akhir
ini tidak bisa banyak bicara hanya bisa bergumam pelan jika tubuh tingginya
sudah memasuki kamar tempatku dirawat. Ia bisa menjadi seorang yang berbeda setiap
kali berkunjung. Kerap kali ia menjadi ahli gizi. Dengan wajah yang sok tapi
polos, ia menasihatiku agar tidak memakan pantangan dan tidak bolong-bolong
meminum obat. Terkadang ia bisa menjadi motivator, berusaha meyakinkanku bahwa
aku bisa sembuh. Sembuh dari kanker darah yang kemungkinannya kecil. Entah
berapa persen, aku tidak tahu. Tapi karena dia satu-satunya pengunjung selain
perawat dan dokter, aku mengangguk saja. Biarpun air mataku ingin sekali ke
luar, tapi aku berusaha menahan agar tidak menangis di depannya.
Ifan juga pernah
menjadi guru. Ia mengajarkan atau menceritakan ilmu yang baru bagiku. Yang belum
pernah kuketahui sebelumnya. Terakhir aku bertemu dengannya, ia menjadi seorang
penceramah. Mengajarkan bahwa Allah memberi penyakit bukan karena membenciku,
tapi justru karena sayang. Jika aku bisa bersabar dan tidak mengeluh, katanya
pahala yang kuterima nanti sangatlah besar. Aku tidak begitu banyak tahu
mengenai ini. Yang jelas, biarpun tubuhku semakin kurus dan melemah, setidaknya
jika tiba waktu sholat aku tetap berusaha untuk mendirikannya, walau hanya
dengan berbaring dari tempat tidur.
“Selamat pagi tuan
putri.” Ifan melangkah dari pintu kamar. Ia datang lagi. Kali ini entah apa
yang dibawanya.
Aku berusaha tersenyum,
walau menurutku bibirku tidak berhasil melengkung membentuk sebuah senyuman.
“Fir, tante dan om
bakalan pulang dari Paris besok. Kita bakalan dapat oleh-oleh banyak tuh ya?”
Karena kalimat Ifan, aku baru sadar bahwa Ayah dan Ibu angkatku sedang berada
di Paris, menghadiri pernikahan salah seorang adik mereka yang seharusnya
kupanggil Paman.
Hampir saja aku
bertanya-tanya kenapa bisa Ifan datang sepagi ini, tapi pikiranku langsung
menjawab cepat. Hari ini hari Minggu, Ifan tidak sekolah. Gara-gara entah sudah
beberapa bulan dirawat, aku jadi tidak ingat masalah hari atau tanggal.
“Oh ya, ini ada bacaan
ringan untukmu Fir. Kuharap kau suka.” Ia memperlihatkan sebuah novel padaku.
Ia mendekat, duduk di sebelahku dan menghadapkan cover novel itu. Mataku
bergantian menatap novel itu dan menatap wajah Ifan yang tersenyum. Itu
karyanya sendiri. Novel itu karyanya sendiri?
“Ternyata naskahku diterima
oleh penerbit, dan aku langsung setuju untuk mencetaknya. Ini kuhadiahkan
untukmu. Kalau senggang, bacalah. Hobi membacamu belum hilang, kan?” Lagi-lagi
Ifan tersenyum. Semakin sering ia tersenyum, entah kenapa perasaanku semakin
membaik, tapi beberapa detik kemudian rasa sedih menyesakkan dadaku.
Aku membuka mulut,
menggerakkan bibir yang pucatnya entah seperti apa. “Kau hebat. Terimakasih
banyak. Aku akan menamatkannya secepat mungkin.” Ucapku pelan, nyaris berbisik.
Beberapa jam kemudian
Ifan pamit, hendak bermain basket bersama teman-temannya. Aku senang sekali,
mengenal orang seperti dia. Kukira tidak ada lagi yang peduli denganku. Tapi
kali ini aku tidak takut kesepian lagi. Meskipun sekali dua atau tiga hari,
setidaknya dia bisa meluangkan waktunya untuk berkunjung melihatku. Aku tahu
jadwalnya sangat padat. Sekolah, kursus, masuk bimbingan belajar, latihan
basket, entah apa lagi.
Dengan tenaga yang
masih sedikit, aku berencana untuk membaca novel Ifan seharian. Ia berhasil
menerbitkan novel pertamanya. Sebelum aku dirawat, dia juga sudah sibuk
mengetik naskah dan meminta pendapatku beberapa kali. Saat kubuka halaman
pertama, aku tidak menyangka namaku tertera di sana. Untuk Fira, sepupu
sekaligus teman terbaik bagiku. Aku senang tanpa ada sebab yang jelas.
Setelah memperhatikan
dan membaca kalimat itu berkali-kali, aku mulai membaca bagian ceritanya. Aku
sangat penasaran. Dulu, ia seringkali meminta pendapatku tanpa memperbolehkanku
membaca naskahnya satu kalimat pun. Tapi kali ini novel ini dipersembahkan
untukku.
Tanpa alasan yang
jelas, air mataku menetes. Entah ini hanya kebetulan atau disengaja, tapi
bagian pertama ceritanya adalah bagaimana pertemuan kami saat masih berumur
enam tahun, saat aku baru diangkat menjadi anak Ayah dan Ibuku saat ini. Hal
yang membuatku terkejut adalah cara Ifan menceritakannya di novel ini. Ia
menjelaskannya seperti pertemuan yang istimewa, yang sangat berarti baginya.
Tanpa pikir panjang aku membalikkan halaman ke bagian tengah novel, membaca
sebagian isinya. Itu juga tentang awal masa SMA kami. Mungkin novel ini memang bercerita
tentang kami berdua?
Saat lewat tengah
malam, suara televisi kukecilkan tapi kubiarkan tetap menyala. Kamarku terlalu
sepi jika tidak ada televisi. Aku tetap lanjut membaca, tidak mempedulikan
berbagai selang yang mulai tertarik atau tidak pada posisinya di bagian tubuhku.
Aku memang suka membaca novel, dan Ifan tahu itu. Novel Ifan tidak tergolong
terlalu tebal. Saat aku berhasil membaca bagian belakang novelnya, aku kembali
merenung. Bagian akhir itu dibuat-buat. Ifan berkhayal aku menemukan sum-sum
tulang belakang yang tepat dan berhasil sembuh dari penyakit ini.
Tapi bagian itu tidak
begitu penting bagiku. Aku sadar, bahwa ada perasaan lain yang membuatku ingin
selalu dekat dengan Ifan. Ingin melihat senyumnya, atau sekedar bertemu
sebentar dengannya. Aku sudah mendapatkan jawaban tidak langsung setelah
membaca novel Ifan. Tapi aku tidak tahu, apakah ceritaku ini adalah bagian
awal, sudah berada di puncak cerita karena keadaanku yang kritis, atau mungkin
sudah di bagian akhir cerita karena perasaan Ifan sudah jelas bagiku? Entahlah.
Biarpun aku tidak
pernah bertemu Ayah atau Ibu kandungku, aku tetap mencintai dan mendo’akan
mereka. Aku menyayangi mereka, meski wajah mereka tidak terbayang dalam
benakku. Kira-kira, begitu jugalah perasaanku pada Ifan, laki-laki yang
senyumnya manis itu.
Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
September 2012