Friday, November 8, 2013

CERITA FIRA

Kalau dipikir-pikir, ada banyak cerita cinta di dunia ini. Setiap orang memiliki cerita masing-masing. Mulai dari awal bertemu, awal kedekatan, awal perasaan itu menyesak di dada, awal keanehan pada pikiran atau bayangan suara yang terus terngiang dalam pikiran, atau semacamnya. Benar kata salah seorang penulis terkenal yang karyanya sangat kukagumi. Cerita cinta setiap orang berbeda. Biarpun hampir sama, atau mirip sekalipun, perasaan yang ditimbulkan dari setiap cerita sangatlah banyak. Dan jika merenungkan hal ini, rasa sedihku sering kali hilang. Terbawa pemikiran yang mungkin tidak berguna.
Satu lagi, pagi yang harus kusyukuri. Aku masih bisa bernafas, menghirup oksigen bebas di udara meski dengan alat bantu pernafasan. Aku masih bisa melirik ke luar jendela ruang tempat aku dirawat, melihat ujung pohon-pohon tempat burung bertengger yang kicauannya paling merdu bagiku saat ini. Melihat atap-atap gedung bertingkat, yang sebenarnya sangatlah indah jika kubisa memotret dan menyimpannya sebagai kenangan. Tapi, aku tidak bisa.
Mungkin keluarga besarku berharap agar nyawaku cepat diambil, agar biaya pengobatan yang dikeluarkan tidak semakin bertambah. Aku ini anak angkat, dan tidak mungkin akan diperhatikan lebih. Satu-satunya yang sering berkunjung ke tempatku adalah Ifan, laki-laki sebaya yang sebenarnya adalah saudara sepupu bagiku. Tapi karena aku hanyalah anak angkat, jadi Ifan tidak ada hubungan apa pun denganku. Kuanggap dia sebagai teman. Teman penghibur yang senyumnya sangat kusukai.
Ifan adalah pemain basket di sekolahnya. Ia sudah banyak memenangkan berbagai kompetisi di tingkat kota maupun provinsi dan mendapat berbagai macam medali. Aku yang akhir-akhir ini tidak bisa banyak bicara hanya bisa bergumam pelan jika tubuh tingginya sudah memasuki kamar tempatku dirawat. Ia bisa menjadi seorang yang berbeda setiap kali berkunjung. Kerap kali ia menjadi ahli gizi. Dengan wajah yang sok tapi polos, ia menasihatiku agar tidak memakan pantangan dan tidak bolong-bolong meminum obat. Terkadang ia bisa menjadi motivator, berusaha meyakinkanku bahwa aku bisa sembuh. Sembuh dari kanker darah yang kemungkinannya kecil. Entah berapa persen, aku tidak tahu. Tapi karena dia satu-satunya pengunjung selain perawat dan dokter, aku mengangguk saja. Biarpun air mataku ingin sekali ke luar, tapi aku berusaha menahan agar tidak menangis di depannya.
Ifan juga pernah menjadi guru. Ia mengajarkan atau menceritakan ilmu yang baru bagiku. Yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Terakhir aku bertemu dengannya, ia menjadi seorang penceramah. Mengajarkan bahwa Allah memberi penyakit bukan karena membenciku, tapi justru karena sayang. Jika aku bisa bersabar dan tidak mengeluh, katanya pahala yang kuterima nanti sangatlah besar. Aku tidak begitu banyak tahu mengenai ini. Yang jelas, biarpun tubuhku semakin kurus dan melemah, setidaknya jika tiba waktu sholat aku tetap berusaha untuk mendirikannya, walau hanya dengan berbaring dari tempat tidur.
“Selamat pagi tuan putri.” Ifan melangkah dari pintu kamar. Ia datang lagi. Kali ini entah apa yang dibawanya.
Aku berusaha tersenyum, walau menurutku bibirku tidak berhasil melengkung membentuk sebuah senyuman.
“Fir, tante dan om bakalan pulang dari Paris besok. Kita bakalan dapat oleh-oleh banyak tuh ya?” Karena kalimat Ifan, aku baru sadar bahwa Ayah dan Ibu angkatku sedang berada di Paris, menghadiri pernikahan salah seorang adik mereka yang seharusnya kupanggil Paman.
Hampir saja aku bertanya-tanya kenapa bisa Ifan datang sepagi ini, tapi pikiranku langsung menjawab cepat. Hari ini hari Minggu, Ifan tidak sekolah. Gara-gara entah sudah beberapa bulan dirawat, aku jadi tidak ingat masalah hari atau tanggal.
“Oh ya, ini ada bacaan ringan untukmu Fir. Kuharap kau suka.” Ia memperlihatkan sebuah novel padaku. Ia mendekat, duduk di sebelahku dan menghadapkan cover novel itu. Mataku bergantian menatap novel itu dan menatap wajah Ifan yang tersenyum. Itu karyanya sendiri. Novel itu karyanya sendiri?
“Ternyata naskahku diterima oleh penerbit, dan aku langsung setuju untuk mencetaknya. Ini kuhadiahkan untukmu. Kalau senggang, bacalah. Hobi membacamu belum hilang, kan?” Lagi-lagi Ifan tersenyum. Semakin sering ia tersenyum, entah kenapa perasaanku semakin membaik, tapi beberapa detik kemudian rasa sedih menyesakkan dadaku.
Aku membuka mulut, menggerakkan bibir yang pucatnya entah seperti apa. “Kau hebat. Terimakasih banyak. Aku akan menamatkannya secepat mungkin.” Ucapku pelan, nyaris berbisik.
Beberapa jam kemudian Ifan pamit, hendak bermain basket bersama teman-temannya. Aku senang sekali, mengenal orang seperti dia. Kukira tidak ada lagi yang peduli denganku. Tapi kali ini aku tidak takut kesepian lagi. Meskipun sekali dua atau tiga hari, setidaknya dia bisa meluangkan waktunya untuk berkunjung melihatku. Aku tahu jadwalnya sangat padat. Sekolah, kursus, masuk bimbingan belajar, latihan basket, entah apa lagi.
Dengan tenaga yang masih sedikit, aku berencana untuk membaca novel Ifan seharian. Ia berhasil menerbitkan novel pertamanya. Sebelum aku dirawat, dia juga sudah sibuk mengetik naskah dan meminta pendapatku beberapa kali. Saat kubuka halaman pertama, aku tidak menyangka namaku tertera di sana. Untuk Fira, sepupu sekaligus teman terbaik bagiku. Aku senang tanpa ada sebab yang jelas.
Setelah memperhatikan dan membaca kalimat itu berkali-kali, aku mulai membaca bagian ceritanya. Aku sangat penasaran. Dulu, ia seringkali meminta pendapatku tanpa memperbolehkanku membaca naskahnya satu kalimat pun. Tapi kali ini novel ini dipersembahkan untukku.
Tanpa alasan yang jelas, air mataku menetes. Entah ini hanya kebetulan atau disengaja, tapi bagian pertama ceritanya adalah bagaimana pertemuan kami saat masih berumur enam tahun, saat aku baru diangkat menjadi anak Ayah dan Ibuku saat ini. Hal yang membuatku terkejut adalah cara Ifan menceritakannya di novel ini. Ia menjelaskannya seperti pertemuan yang istimewa, yang sangat berarti baginya. Tanpa pikir panjang aku membalikkan halaman ke bagian tengah novel, membaca sebagian isinya. Itu juga tentang awal masa SMA kami. Mungkin novel ini memang bercerita tentang kami berdua?
Saat lewat tengah malam, suara televisi kukecilkan tapi kubiarkan tetap menyala. Kamarku terlalu sepi jika tidak ada televisi. Aku tetap lanjut membaca, tidak mempedulikan berbagai selang yang mulai tertarik atau tidak pada posisinya di bagian tubuhku. Aku memang suka membaca novel, dan Ifan tahu itu. Novel Ifan tidak tergolong terlalu tebal. Saat aku berhasil membaca bagian belakang novelnya, aku kembali merenung. Bagian akhir itu dibuat-buat. Ifan berkhayal aku menemukan sum-sum tulang belakang yang tepat dan berhasil sembuh dari penyakit ini.
Tapi bagian itu tidak begitu penting bagiku. Aku sadar, bahwa ada perasaan lain yang membuatku ingin selalu dekat dengan Ifan. Ingin melihat senyumnya, atau sekedar bertemu sebentar dengannya. Aku sudah mendapatkan jawaban tidak langsung setelah membaca novel Ifan. Tapi aku tidak tahu, apakah ceritaku ini adalah bagian awal, sudah berada di puncak cerita karena keadaanku yang kritis, atau mungkin sudah di bagian akhir cerita karena perasaan Ifan sudah jelas bagiku? Entahlah.

Biarpun aku tidak pernah bertemu Ayah atau Ibu kandungku, aku tetap mencintai dan mendo’akan mereka. Aku menyayangi mereka, meski wajah mereka tidak terbayang dalam benakku. Kira-kira, begitu jugalah perasaanku pada Ifan, laki-laki yang senyumnya manis itu.


Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
September 2012

MAAFKAN AKU, IBU

Debu jalanan sesekali membuat mataku terpejam dengan refleks karena ada pasir yang beterbangan menerobos ingin masuk ke dalam mata. Cahaya mentari tengah hari terasa sangat menyilaukan dan membuat keringat bercucuran. Aspal terasa panas sekali walau aku sudah menggunakan alas kaki.
Banyak kendaraan yang lalu lalang di jalan utama tengah kota seperti ini. Jelas saja, ini jam istirahat sholat dan makan untuk mereka yang bekerja di kantor. Aku berjalan di pinggiran pertokoan, menuju sebuah bengkel motor tempatku bekerja.
Saat sedang berjalan di pinggiran toko, aku melihat segerombolan anak SMA yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan seorang anak perempuan lewat, berjalan cepat di trotoar pinggiran toko. Dua diantara mereka ada yang merokok. Aku tidak tahan ingin bertanya, kenapa jam segini mereka sedang tidak berada di sekolah? Tapi aku mengurungkan niat karena jelas saja mereka orang-orang keras yang perkataannya pedas dan sikapnya kasar.
Beberapa menit setelah mereka melintas melewatiku, aku teringat sesuatu. Rasa menyesal itu kembali datang. Penyesalan tiada henti meski aku sudah sempat meminta maaf. Rasa sedih yang mengiris hati, menyisakan perih tak tertahankan. Anak-anak SMA yang baru saja lewat mengingatkanku pada pola hidupku beberapa tahun lalu, saat aku masih menjadi pelajar dari sekolah hebat dan terhormat yang namanya harum di provinsi tempatku tinggal. Aku terlambat sadar, dan menyesal setengah matipun tidak ada gunanya.
* * *
Pagi hari beberapa tahun lalu. Pagi hari saat puncak kenakalanku tak bisa dikendalikan.
“Adi, ini uang sekolah, tolong dibayarkan. Jangan dijajankan.” Ibu mengangsurkan uang seratus ribu tujuh lembar padaku yang hendak berangkat ke sekolah.
Aku yang saat itu masih belum sadar menatap Ibuku sendiri dengan tatapan sinis yang tajam dan tanpa merasa bersalah meneriakinya. “Iya, iya! Adi bayarkan nanti, nggak mungkinlah Adi jajankan. Ibu ni!”
Aku tahu, Ibu tidak akan melawanku. Sebenarnya, sejak awal ia sudah paham aku tidak bisa diatur. Gurat tuanya semakin jelas dan aura kesedihan selalu ke luar begitu saja jika aku sudah berjalan ke garasi dan menghidupkan motor. Motor khusus untuk pulang pergi sekolah. Jelas saja, Ibu pasti berdo’a untuk keberhasilanku di sekolah. Ibu merindukan diriku yang berprestasi dan membanggakan seperti dulu, saat aku masih di SMP. Tapi aku sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Meski batinku masih berbisik untuk kebaikan, aku sudah tidak lagi menghiraukan bisikan itu. Hampir setiap hari, aku meneriaki Ibu, melawan kalimat lembutnya dengan kata makian dan kalimat keras yang kasar.
Ibu hanya menggangguk mendengar jawabanku. Ia terlihat sedih. Saat motorku ke luar dari pagar rumah dan melesat hingga ke ujung gang, wajahnya masih berdiri tegak di ujung pintu rumah. Melepasku yang hendak berangkat ke sekolah.
Motorku melesat kencang di jalan raya. Aku sudah punya rencana besar untuk hari ini. Teman-temanku sudah menjanjikan tempat untuk berkumpul, untuk bersenang-senang. Hari ini aku tidak akan ke sekolah. Uang yang diberikan Ibu sangatlah berguna. Aku sudah banyak berhutang rokok di kedai sana sini, dan teman-temanku juga ingin ditraktir. Apa kurangnya uang tujuh ratus ribu tadi?
Dari balik helm, aku tersenyum-senyum dengan sendirinya. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak aku cabut selama di SMA itu. Guru-guru sudah memperingatkan, dan tidak jarang aku dan teman-teman yang merokok di sekolah tertangkap basah. Mereka hanya menegur dan tidak berani menindak lebih lanjut karena teman-temanku yang terlibat adalah anak-anak bos  yang kalau diancam, mereka akan mengadukan guru itu kepada orangtua yang akibatnya, siswa yang salah dibenarkan dan guru yang benar disalahkan.
* * *
Rutinitas cabut dan merokokku bersama teman-teman terus berlanjut. Ibuku selalu memperingatkan dan memberi nasihat setiap kali aku pulang ke rumah untuk makan dan tidur. “Biaya sekolahmu itu tidak murah, nak... Rajinlah belajar. Ibu dan Ayah memilih sekolah yang berfasilitas lengkap dan ternama agar semangat belajarmu terpacu dan bisa tetap juara kelas seperti dulu.” Aku diam, tidak menjawab. Saat itu, aku paling malas mendengar hal ini.
“Adi... Dengarkan Ibu nak.”
“Mmmm?” Aku hanya bergumam sambil menyuap sesendok nasi di meja makan.
“Buatlah orangtuamu bangga. Ibu sudah capek datang ke sekolah karena kasus yang kamu buat. Ibu malu. Rasanya tidak tahu mau ditaruh di  mana muka ini. Dulu, Ibu bangga sekali datang ke sekolah karena anak Ibu berprestasi, memenangkan berbagai lomba. Tapi sekarang ....” Ibu terhenti di akhir kalimatnya.
Aku menoleh, menatapnya lama. Entah kenapa, rasa sayangku muncul. Rindu akan pelukan Ibu ketika aku masih kecil, kira-kira begitulah rasanya. Jelas saja, aku ini anak tunggal yang terlalu diperhatikan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan mengatakannya dengan bangga pada Ibu. “Oh ya, nilai ulangan Adi ada yang sembilan Bu. Beberapa hari yang lalu Adi ulangan Sejarah, dan nggak nyangka bisa dapat sembilan.” Aku berjalan cepat ke kamar, mengambil kertas hasil ulangan, dan menyodorkannya pada Ibu.
Ibu tersenyum. Saking senangnya matanya berkaca-kaca. Padahal itu hanya ulangan harian yang kebetulan aku duduk di dekat teman yang pandai pelajaran Sejarah. Bahasa kasarnya, aku bisa melihat jawaban temanku dan menyalin penuh semuanya. Biarlah. Untuk sesaat, aku ingin sekali kembali membahagiakan Ibu. Sore itu, semangat belajarku muncul tak tertahan.
Tapi, pada malam harinya rasa malasku terasa lebih tinggi. Aku malas membaca buku dan alhasil aku hanya menonton tv di kamar atau bermain game di laptop. Semuanya masih sama. Kebiasaan cabutku, dan sering mendapat teguran guru. Aku tahu, mereka menegur karena sudah kasihan melihat wajah Ibuku yang malu atau sedih karena perbuatanku yang sudah kelewat batas.
Suatu malam, saat Ayah pulang dari tempat kerja, Ayah memukuli punggungku dengan ikat pinggang tanpa alasan yang jelas. Ia marah-marah tidak menentu dan akhirnya menyuruhku tidur di teras rumah. Aku sudah biasa dimarahi, tapi baru kali ini Ayah memukulku. Sakit sekali rasanya. Mataku sampai berair hingga tengah malam. Di luar, angin malam terasa menusuk tulang. Aku masih terjaga saat Ibu diam-diam membuka pintu luar dan tersenyum aneh menatapku. Aku yang tidak tahu diri langsung menerobos masuk tanpa mengatakan apa-apa. Padahal Ibu yang telah menyelamatkan malam mengerikan di teras rumah saat itu.
Paginya Ayah marah besar pada Ibu tapi aku diam saja. Ini salah satu hal yang kusesali diantara banyak hal yang membuatku menyesal. Aku diam di balik pintu kamar, tidak membela Ibu yang beradu mulut dengan Ayah. Hati kecilku ingin sekali meneriaki Ayah, membela Ibu dengan berbagai alasan. Aku ingin sekali bergabung, berteriak seperti mereka. Tapi, lagi-lagi sifat jahatku menahan.
Semuanya masih berlanjut. Jika tidak ada Ayah, aku masih melawan Ibu hingga ia jatuh sakit. Aku tidak pernah tahu. Ibu menyembunyikan penyakit kistanya dariku. Ternyata Ibu tidak menjalani proses pengobatan dengan serius. Seperti sengaja tidak memilih jalan operasi, seperti sengaja ingin segera meninggalkanku. Itu yang terpikir olehku saat itu.
Di saat yang bersamaan, karena terkejut Ibu dirawat, aku memacu motorku dari sekolah dan ingin tiba dengan cepat di rumah sakit. Akibatnya aku disenggol mobil yang pengemudinya tidak bertanggung jawab. Penyesalanku yang berikutnya adalah, aku ikut dirawat karena kaki kiriku patah dan mengalami perdarahan serius di tangan karena bergesekan dengan aspal. Ibu menangisiku dan Ayah hanya diam, tidak menunjukkan rasa cemas samasekali.
“Ibu, maafkan Adi. Tolong, maafkan semua perbuatan Adi. Adi janji akan berubah, dan membuat Ibu bangga dengan anak Ibu sendiri.” Kalimat itu ke luar dari mulutku dengan isakan kuat. Aku menangis dengan kondisi yang memprihatinkan, menyeret kaki yang patah dengan tongkat. Memegang tongkat dengan tangan yang dibalut karena luka. Ya Allah, kumohon ampuni aku, dan berilah aku kesempatan lagi untuk membahagiakan Ibuku.
Ibu yang terbaring lemas di ranjang tersenyum dengan linangan air mata. Wajahnya pucat, tapi seperti bercahaya. Aku mendapatkan jawaban, aku tidak bisa lagi memiliki kesempatan untuk memperlihatkan kesuksesanku pada Ibu. Paginya, Ibu menggenggam erat tanganku dan membisikkan kalimat yang tidak bisa kupahami. Ayah dengan cemasnya membisikkan kalimat tauhid pada Ibu. Aku tidak meyangka, Ibu akan pergi secepat itu. Penyesalan dan kesedihan itu sejatinya adalah satu paket yang tidak bisa dielakkan. Rasa sedih dan menyesal yang berlipat-lipat membuatku menangis melepas kepergian Ibu. Ayah menatapku dalam, tidak tahu hendak berkata apa. Saat itu, aku berjanji akan menjadi anak yang sukses.
Aku mengurusi semuanya. Dengan suasana hati yang sendu, aku memandikan dan menjadi imam saat semua keluarga, tetangga, dan beberapa kenalan melaksanakan sholat jenazah untuk Ibu. Aku juga mengurusi pemakaman, meski tidak ikut menggali tanah merah karena kakiku yang masih belum sehat. Sedangkan Ayah? Aku tidak mengerti dan tidak pernah menyangka, Ayah depresi berat hingga mengalami gangguan kejiwaan tanpa sebab yang kuketahui. Saat itu juga, aku memutuskan untuk bekerja. Apa saja, asal bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk pendidikanku sendiri.
Dengan persetujuan Ayah, kami pindah rumah ke rumah yang lebih sederhana. Aku terpaksa mengurung Ayah di sebuah kamar jika aku sekolah atau bekerja sambilan di sore hari. Banyak keluarga atau kenalan yang sesekali datang melihat kondisiku atau pun memberi sedikit uang. Aku pun paham, keluargaku juga hidupnya pas pasan. Sesekali aku menolak pemberian mereka dengan alasan aku sudah mempunyai pekerjaan tetap di sebuah bengkel motor.
Saat lulus SMA, aku memadatkan hariku dengan bekerja dan berusaha menabung untuk bisa lanjut kuliah. Karena terlanjur menjadi anak yang dulunya sering cabut, aku kewalahan mengulang pelajaran dan tidak bisa mendapat nilai yang memenuhi standar untuk beasiswa.
Beberapa bulan setelah kelulusan, salah seorang guruku datang berkunjung untuk melihatku dan Ayah. Awalnya hanya basa-basi, tapi sejak awal aku sudah tahu apa tujuannya. “Ini ada sedikit uang. Bapak berharap Adi bisa membuka usaha sendiri. Ya, misalnya jual bakso atau roti keliling. Roti goreng atau es cendol pun jadi, disamping pekerjaan tetap di bengkel motor. Kalau uangnya sudah terkumpul banyak, barulah Adi lanjut kuliah.”
Kehidupanku yang awalnya susah menjadi sedikit tertolong. Saat ini, aku masih dalam rangka menabung untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Kalau ada peluang beasiswa, aku akan mencobanya. Dengan pekerjaan tetap di bengkel motor dan menjadi tukang roti di sebuah SD, kebutuhan sehari-hariku dan Ayah lambat laun menjadi cukup. Meskipun Ayah masih belum sembuh dari depresi beratnya, aku akan terus berusaha.
Ibu, aku berjanji akan menjadi anak yang membanggakan. Kalau aku sudah berjanji, aku tidak akan mengingkarinya. “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa Ibuku.” Do’aku dalam hati. Maafkan aku Ibu. Kumohon.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Menyisakan rasa sedih berkepanjangan yang tak bisa dielakkan. Bagaikan oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan, kasih sayang seorang Ibu tidak ternilai harganya. Bedo’a dan mohon ampunanNya. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Mei 2012

AKHIR PENANTIAN

Senyum manis itu membayang di pikiranku. Entah sejak kapan, wajahnya selalu terbayang dalam benakku. Terkadang aku merasa bodoh. Memendam perasaan aneh ini sendirian. Getaran itu sangat menggangguku. Getaran akibat perasaan ini berbicara, bahwa aku menyukainya.
Wajar saja jika aku sering melamun saat belajar di kelas. Antara sedih, senang, dan kesal pada diri sendiri. Senyum lelaki itu turut membayang di hatiku. Rama, teman sekelas yang baru akrab denganku.
“Hey! Melamun ya...” Rama mengejutkanku.
“Kenapa memangnya?”
“Nggak ada. Cuma iseng mau ngejutin. Hahaha.” Rama tertawa. Tawa khas yang lumayan aneh dilihat. Ia menghentakkan kaki kanannya ke lantai kelas sambil memukul-mukul meja.
“Ah! Terserahlah.” Aku berpura-pura marah, menjawab candaannya dengan nada tinggi.
“Marah dang...” Rama pergi menuju bangku temannya yang lain. Kembali meninggalkanku. Kembali memberikanku sedikit kesempatan untuk kembali tenggelam dalam lamunan.
Sungguh aneh. Kenapa aku malah memarahinya? Seharusnya aku bersikap lembut padanya.
***
Bel tanda selesainya jam pelajaran terakhir berbunyi hingga tiba ke berbagai sudut ruangan di sekolah. Aku ke luar kelas bersama temanku, Rani. Ia teman yang cukup baik.
“Shinta...besok ujian biologi aja, kan?” tanya Rani padaku.
“Iya rasanya. Nggak ada yang lain.”
“Oh...ya.”
Untuk beberapa detik lamanya kami terdiam sesaat. Aku ingin mengajaknya berbicara karena gerbang sekolah masih terasa jauh.
“Rani...” aku menyapanya pelan.
“Ya? Apa Shin?”
“Aku boleh cerita?”
“Ya, boleh. Apa? Langsung aja.”
“Aku nggak bisa lupain dia.”
“Dia? Siapa ni maksudnya?”
“Rama! Siapa lagi?”
“Eh? Rama? Shinta suka sama Rama?” Rani terus bertanya. Ia tampak terkejut.
Aku mengangguk pelan, namun sedikit ragu “Iya... Rani”
“Hah?”
“Kenapa?”
“Nggak, kaget aja. Aku baru tahu. Sejak kapan, Shin?”
“Ntahlah aku nggak ingat. Padahal dulu biasa aja. Tapi beberapa bulan ini aneh aja Ran. Gimana lagi, aku nggak tahu.”
“Hmm...wajar, puber. Hahaha. Cie...Shinta.” Rani terus menggodaku.
Baru kali ini aku digoda begitu lama. Aku merasa sangat senang. Perasaan ini kembali mendesak ingin ke luar. Getaran hebat ini sungguh membuat hari-hariku terasa menyenangkan.
“Udahlah Ran!” aku ingin membuatnya berhenti menggoda saat gerbang sekolah semakin dekat.
“Udahlah. Bilang aja senang.” Rani tertawa puas.
Aku tersenyum.
***
Saat melihatnya bergurau bersama teman perempuan lain. Saat mereka tertawa hampir bersamaan di depanku. Rasa kesal bercampur sedih itu mulai kukenali. Aku tidak bisa marah. Cemburuku tidak beralasan. Tapi jujur saja, aku ingin sekali menangis.
“Kenapa Shin?” Rani menghampiriku.
“Kenapa? Nggak kenapa-napa.” Aku menjawab pelan, lalu kemudian langsung menundukkan kepala di atas meja sambil memejamkan mata. Malas sekali rasanya melihat Rama yang tersenyum lebar itu.
“Pasti ada sesuatu! Nggak mungkin tidak ada apa-apa Shinta?”
“Ha? Aku lagi malas bicara ni, Ran. Maaf ya.”
Aku merasakan langkah kaki Rani pergi meninggalkan tempat dudukku. Beberapa detik setelah Rani pergi, mejaku terasa kembali bergoyang.
“Siapa lagi ni?” tanyaku sedikit kesal. Begitu kubuka kedua mataku, wajah rama langsung muncul. Begitu dekat. Mata kami bertemu. Ingin rasanya aku tersenyum, namun secara spontan aku langsung mengangkat kepala dan beralih memandang sudut ruangan yang lain.
“Kamu kenapa Shin?” Rama  bertanya ketus. Rama yang seharusnya tidak mempedulikanku itu duduk di sebelahku.
“Apa urusanmu?”
“Aku cuma nanya aja!” Rama berjalan meninggalkan tempat dudukku.
Aku bingung. Tidak mungkin ia marah cuma karena aku tidak menjawab pertanyaannya. Tidak mungkin.
Aku tidak mempedulikan dia yang tiba-tiba berubah sikapnya saat jam pelajaran berikutnya. Dia yang biasanya selalu bertanya padaku saat latihan soal malah diam di tempat duduknya. Sebenarnya aku tidak ingin mengajaknya bicara duluan. Namun ia hanya duduk diam di tempat duduknya. Bahkan tidak mengerjakan latihan soal yang diberikan guru.
“Rama! Udah selesai?” sapaku mendekatinya.
“Belum. Nggak ngerti aku.” Jawabnya datar tanpa menoleh ke arahku.
“Sini kubantu.”
Dengan wajah datar ia bergerak mengambil alat tulis. Tanpa ekspresi.
“Dia kenapa?” pikirku dalam hati.
***
“Aaaaaaaaaa...” aku berteriak di kamar. Bukan karena ada tikus atau karena kakiku terjepit, melainkan karena perasaanku sangat senang. Senang sekali rasanya, hingga ingin berteriak dan berlompat-lompat di kasur kamarku.
Malam itu ruamhku kosong, jadi aku merasa bebas untuk berteriak. Aku sangat senang, karena sms yang kukirim dibalas oleh Rama. Sms dariku, yang menjadi saksi bahwa aku telah mengungkapkan isi hatiku pada Rama, dan Rama ternyata juga memiliki perasaan yang sama.
Aku merasa melayang, karena hatiku sangat senang. Perasaan saat itu tidak tergambarkan oleh kata-kata. Aku juga tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Aku benar-benar terkejut bercampur senang.
Keesokan harinya, aku tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Aku menceritakan semuanya pada Rani, yang tahu tentang perasaanku dengan Rama. Begitu dia mengetahui semua yang kurasakan tadi malam, seperti biasa, ia tidak bisa berhenti untuk menggodaku. Rani tersenyum lebar.
Rama mengatakan padaku, bahwa dia juga menyukaiku. Tetapi, sudah seminggu semenjak sms itu, kami lebih banyak diam. Tidak seperti biasa, kami tidak bercanda dan mengobrol bebas saat di dalam kelas.
“Nggak enak kayak gini.” Aku berkata pelan pada Rani saat pulang.
“Gimana?”
“Dia menjauh Ran!”
“Eh? Dia lagi malu aja nggak? Tunggu dulu, Shin...siapatahu besok dia mau langsung nembak?”
Tidak seperti biasa, godaan Rani kali ini tidak membuatku lebih baik. Aku malah ingin menangis, dan itu benar. Sepulang sekolah, sebelum makan siang, aku melampiaskan semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Wajah Rama muncul dalam benakku.
Aku berpikir bahwa sebaiknya aku tidak perlu mengungkapkan perasaanku. Kalau begini, lebih baik aku tahan saja, dari pada aku tidak bercanda lagi dengannya. Rama, dia begitu sederhana dan polos. Kenapa aku bisa mengutarakan perasaan ini, tanpa ada perubahan yang lebih baik. Rama...
***
“Aku ingin kami seperti dulu lagi. Kalau kayak gini, bagus nggak perlu kukirim sms tu.”
“Sabar, Shin.” Rani hanya berkata pelan, sangat singkat. Aku tahu, dia kehabisan kata untuk menenangkanku.
“Shin...” secara tiba tiba Rama muncul di hadapan kami berdua. Rani yang tadinya duduk di sebelahku malah pergi meninggalkan kami berdua. Ia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum. Entah apa yang dia pikirkan. Kalau sampai ada hal memalukan yang kuhadapi saat bersama Rama, aku akan dendam sekali padanya.
“Shinta?” Rama duduk di tempat Rani duduk sebelumnya.
“Ya...” jawabku datar. Aku gugup.
“Marah, ya?”
“Nggak ah!”
“Masa iya?”
“Iya...”
“Oh!” Rama diam, bersandar di sebelahku.
“Ada perlu apa, Ram?”
“Hmm...aku malu, tapi ini harus dikatakan.” Ia berhenti sejenak. Menarik nafas dalam. Aku gugup, tidak berani menoleh. Apa? Apa yang ingin dia katakan? Apalagi? “Shinta, sebenarnya...kamu mau nggak ....”
Pertanyaan indah itu keluar dari mulut Rama. Suaranya bergetar, matanya berbinar penuh harap. Aku terkejut, jantungku berdetak sangat cepat. Sungguh, aku tidak pernah menyangka dia akan menanyakan hal itu secara langsung. Dia adalah orang pertama, dan semoga aku tidak mengecewakannya.
“Iya, Rama... Tentu.” Jawabku dengan suara parau.
Angin berhembus pelan di jam istirahat waktu itu, menerbangkan beberapa helai daun yang gugur dari pohon di halaman sekolah kami. Aku hanya diam, malu memulai pembicaraan yang lain. Aku tidak punya topik yang bisa kami bahas di saat seperti ini.


Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Maret 2012