Friday, November 8, 2013

AKHIR PENANTIAN

Senyum manis itu membayang di pikiranku. Entah sejak kapan, wajahnya selalu terbayang dalam benakku. Terkadang aku merasa bodoh. Memendam perasaan aneh ini sendirian. Getaran itu sangat menggangguku. Getaran akibat perasaan ini berbicara, bahwa aku menyukainya.
Wajar saja jika aku sering melamun saat belajar di kelas. Antara sedih, senang, dan kesal pada diri sendiri. Senyum lelaki itu turut membayang di hatiku. Rama, teman sekelas yang baru akrab denganku.
“Hey! Melamun ya...” Rama mengejutkanku.
“Kenapa memangnya?”
“Nggak ada. Cuma iseng mau ngejutin. Hahaha.” Rama tertawa. Tawa khas yang lumayan aneh dilihat. Ia menghentakkan kaki kanannya ke lantai kelas sambil memukul-mukul meja.
“Ah! Terserahlah.” Aku berpura-pura marah, menjawab candaannya dengan nada tinggi.
“Marah dang...” Rama pergi menuju bangku temannya yang lain. Kembali meninggalkanku. Kembali memberikanku sedikit kesempatan untuk kembali tenggelam dalam lamunan.
Sungguh aneh. Kenapa aku malah memarahinya? Seharusnya aku bersikap lembut padanya.
***
Bel tanda selesainya jam pelajaran terakhir berbunyi hingga tiba ke berbagai sudut ruangan di sekolah. Aku ke luar kelas bersama temanku, Rani. Ia teman yang cukup baik.
“Shinta...besok ujian biologi aja, kan?” tanya Rani padaku.
“Iya rasanya. Nggak ada yang lain.”
“Oh...ya.”
Untuk beberapa detik lamanya kami terdiam sesaat. Aku ingin mengajaknya berbicara karena gerbang sekolah masih terasa jauh.
“Rani...” aku menyapanya pelan.
“Ya? Apa Shin?”
“Aku boleh cerita?”
“Ya, boleh. Apa? Langsung aja.”
“Aku nggak bisa lupain dia.”
“Dia? Siapa ni maksudnya?”
“Rama! Siapa lagi?”
“Eh? Rama? Shinta suka sama Rama?” Rani terus bertanya. Ia tampak terkejut.
Aku mengangguk pelan, namun sedikit ragu “Iya... Rani”
“Hah?”
“Kenapa?”
“Nggak, kaget aja. Aku baru tahu. Sejak kapan, Shin?”
“Ntahlah aku nggak ingat. Padahal dulu biasa aja. Tapi beberapa bulan ini aneh aja Ran. Gimana lagi, aku nggak tahu.”
“Hmm...wajar, puber. Hahaha. Cie...Shinta.” Rani terus menggodaku.
Baru kali ini aku digoda begitu lama. Aku merasa sangat senang. Perasaan ini kembali mendesak ingin ke luar. Getaran hebat ini sungguh membuat hari-hariku terasa menyenangkan.
“Udahlah Ran!” aku ingin membuatnya berhenti menggoda saat gerbang sekolah semakin dekat.
“Udahlah. Bilang aja senang.” Rani tertawa puas.
Aku tersenyum.
***
Saat melihatnya bergurau bersama teman perempuan lain. Saat mereka tertawa hampir bersamaan di depanku. Rasa kesal bercampur sedih itu mulai kukenali. Aku tidak bisa marah. Cemburuku tidak beralasan. Tapi jujur saja, aku ingin sekali menangis.
“Kenapa Shin?” Rani menghampiriku.
“Kenapa? Nggak kenapa-napa.” Aku menjawab pelan, lalu kemudian langsung menundukkan kepala di atas meja sambil memejamkan mata. Malas sekali rasanya melihat Rama yang tersenyum lebar itu.
“Pasti ada sesuatu! Nggak mungkin tidak ada apa-apa Shinta?”
“Ha? Aku lagi malas bicara ni, Ran. Maaf ya.”
Aku merasakan langkah kaki Rani pergi meninggalkan tempat dudukku. Beberapa detik setelah Rani pergi, mejaku terasa kembali bergoyang.
“Siapa lagi ni?” tanyaku sedikit kesal. Begitu kubuka kedua mataku, wajah rama langsung muncul. Begitu dekat. Mata kami bertemu. Ingin rasanya aku tersenyum, namun secara spontan aku langsung mengangkat kepala dan beralih memandang sudut ruangan yang lain.
“Kamu kenapa Shin?” Rama  bertanya ketus. Rama yang seharusnya tidak mempedulikanku itu duduk di sebelahku.
“Apa urusanmu?”
“Aku cuma nanya aja!” Rama berjalan meninggalkan tempat dudukku.
Aku bingung. Tidak mungkin ia marah cuma karena aku tidak menjawab pertanyaannya. Tidak mungkin.
Aku tidak mempedulikan dia yang tiba-tiba berubah sikapnya saat jam pelajaran berikutnya. Dia yang biasanya selalu bertanya padaku saat latihan soal malah diam di tempat duduknya. Sebenarnya aku tidak ingin mengajaknya bicara duluan. Namun ia hanya duduk diam di tempat duduknya. Bahkan tidak mengerjakan latihan soal yang diberikan guru.
“Rama! Udah selesai?” sapaku mendekatinya.
“Belum. Nggak ngerti aku.” Jawabnya datar tanpa menoleh ke arahku.
“Sini kubantu.”
Dengan wajah datar ia bergerak mengambil alat tulis. Tanpa ekspresi.
“Dia kenapa?” pikirku dalam hati.
***
“Aaaaaaaaaa...” aku berteriak di kamar. Bukan karena ada tikus atau karena kakiku terjepit, melainkan karena perasaanku sangat senang. Senang sekali rasanya, hingga ingin berteriak dan berlompat-lompat di kasur kamarku.
Malam itu ruamhku kosong, jadi aku merasa bebas untuk berteriak. Aku sangat senang, karena sms yang kukirim dibalas oleh Rama. Sms dariku, yang menjadi saksi bahwa aku telah mengungkapkan isi hatiku pada Rama, dan Rama ternyata juga memiliki perasaan yang sama.
Aku merasa melayang, karena hatiku sangat senang. Perasaan saat itu tidak tergambarkan oleh kata-kata. Aku juga tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Aku benar-benar terkejut bercampur senang.
Keesokan harinya, aku tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Aku menceritakan semuanya pada Rani, yang tahu tentang perasaanku dengan Rama. Begitu dia mengetahui semua yang kurasakan tadi malam, seperti biasa, ia tidak bisa berhenti untuk menggodaku. Rani tersenyum lebar.
Rama mengatakan padaku, bahwa dia juga menyukaiku. Tetapi, sudah seminggu semenjak sms itu, kami lebih banyak diam. Tidak seperti biasa, kami tidak bercanda dan mengobrol bebas saat di dalam kelas.
“Nggak enak kayak gini.” Aku berkata pelan pada Rani saat pulang.
“Gimana?”
“Dia menjauh Ran!”
“Eh? Dia lagi malu aja nggak? Tunggu dulu, Shin...siapatahu besok dia mau langsung nembak?”
Tidak seperti biasa, godaan Rani kali ini tidak membuatku lebih baik. Aku malah ingin menangis, dan itu benar. Sepulang sekolah, sebelum makan siang, aku melampiaskan semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Wajah Rama muncul dalam benakku.
Aku berpikir bahwa sebaiknya aku tidak perlu mengungkapkan perasaanku. Kalau begini, lebih baik aku tahan saja, dari pada aku tidak bercanda lagi dengannya. Rama, dia begitu sederhana dan polos. Kenapa aku bisa mengutarakan perasaan ini, tanpa ada perubahan yang lebih baik. Rama...
***
“Aku ingin kami seperti dulu lagi. Kalau kayak gini, bagus nggak perlu kukirim sms tu.”
“Sabar, Shin.” Rani hanya berkata pelan, sangat singkat. Aku tahu, dia kehabisan kata untuk menenangkanku.
“Shin...” secara tiba tiba Rama muncul di hadapan kami berdua. Rani yang tadinya duduk di sebelahku malah pergi meninggalkan kami berdua. Ia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum. Entah apa yang dia pikirkan. Kalau sampai ada hal memalukan yang kuhadapi saat bersama Rama, aku akan dendam sekali padanya.
“Shinta?” Rama duduk di tempat Rani duduk sebelumnya.
“Ya...” jawabku datar. Aku gugup.
“Marah, ya?”
“Nggak ah!”
“Masa iya?”
“Iya...”
“Oh!” Rama diam, bersandar di sebelahku.
“Ada perlu apa, Ram?”
“Hmm...aku malu, tapi ini harus dikatakan.” Ia berhenti sejenak. Menarik nafas dalam. Aku gugup, tidak berani menoleh. Apa? Apa yang ingin dia katakan? Apalagi? “Shinta, sebenarnya...kamu mau nggak ....”
Pertanyaan indah itu keluar dari mulut Rama. Suaranya bergetar, matanya berbinar penuh harap. Aku terkejut, jantungku berdetak sangat cepat. Sungguh, aku tidak pernah menyangka dia akan menanyakan hal itu secara langsung. Dia adalah orang pertama, dan semoga aku tidak mengecewakannya.
“Iya, Rama... Tentu.” Jawabku dengan suara parau.
Angin berhembus pelan di jam istirahat waktu itu, menerbangkan beberapa helai daun yang gugur dari pohon di halaman sekolah kami. Aku hanya diam, malu memulai pembicaraan yang lain. Aku tidak punya topik yang bisa kami bahas di saat seperti ini.


Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Maret 2012

No comments:

Post a Comment