Senyum manis itu membayang
di pikiranku. Entah sejak kapan, wajahnya selalu terbayang dalam benakku.
Terkadang aku merasa bodoh. Memendam perasaan aneh ini sendirian. Getaran itu
sangat menggangguku. Getaran akibat perasaan ini berbicara, bahwa aku
menyukainya.
Wajar saja jika aku
sering melamun saat belajar di kelas. Antara sedih, senang, dan kesal pada diri
sendiri. Senyum lelaki itu turut membayang di hatiku. Rama, teman sekelas yang
baru akrab denganku.
“Hey! Melamun ya...”
Rama mengejutkanku.
“Kenapa memangnya?”
“Nggak ada. Cuma iseng
mau ngejutin. Hahaha.” Rama tertawa. Tawa khas yang lumayan aneh dilihat. Ia
menghentakkan kaki kanannya ke lantai kelas sambil memukul-mukul meja.
“Ah! Terserahlah.” Aku
berpura-pura marah, menjawab candaannya dengan nada tinggi.
“Marah dang...” Rama
pergi menuju bangku temannya yang lain. Kembali meninggalkanku. Kembali
memberikanku sedikit kesempatan untuk kembali tenggelam dalam lamunan.
Sungguh aneh. Kenapa
aku malah memarahinya? Seharusnya aku bersikap lembut padanya.
***
Bel tanda selesainya
jam pelajaran terakhir berbunyi hingga tiba ke berbagai sudut ruangan di
sekolah. Aku ke luar kelas bersama temanku, Rani. Ia teman yang cukup baik.
“Shinta...besok ujian
biologi aja, kan?” tanya Rani padaku.
“Iya rasanya. Nggak ada
yang lain.”
“Oh...ya.”
Untuk beberapa detik
lamanya kami terdiam sesaat. Aku ingin mengajaknya berbicara karena gerbang
sekolah masih terasa jauh.
“Rani...” aku
menyapanya pelan.
“Ya? Apa Shin?”
“Aku boleh cerita?”
“Ya, boleh. Apa? Langsung
aja.”
“Aku nggak bisa lupain
dia.”
“Dia? Siapa ni
maksudnya?”
“Rama! Siapa lagi?”
“Eh? Rama? Shinta suka
sama Rama?” Rani terus bertanya. Ia tampak terkejut.
Aku mengangguk pelan,
namun sedikit ragu “Iya... Rani”
“Hah?”
“Kenapa?”
“Nggak, kaget aja. Aku
baru tahu. Sejak kapan, Shin?”
“Ntahlah aku nggak
ingat. Padahal dulu biasa aja. Tapi beberapa bulan ini aneh aja Ran. Gimana
lagi, aku nggak tahu.”
“Hmm...wajar, puber.
Hahaha. Cie...Shinta.” Rani terus menggodaku.
Baru kali ini aku
digoda begitu lama. Aku merasa sangat senang. Perasaan ini kembali mendesak
ingin ke luar. Getaran hebat ini sungguh membuat hari-hariku terasa
menyenangkan.
“Udahlah Ran!” aku
ingin membuatnya berhenti menggoda saat gerbang sekolah semakin dekat.
“Udahlah. Bilang aja
senang.” Rani tertawa puas.
Aku tersenyum.
***
Saat melihatnya
bergurau bersama teman perempuan lain. Saat mereka tertawa hampir bersamaan di
depanku. Rasa kesal bercampur sedih itu mulai kukenali. Aku tidak bisa marah.
Cemburuku tidak beralasan. Tapi jujur saja, aku ingin sekali menangis.
“Kenapa Shin?” Rani
menghampiriku.
“Kenapa? Nggak
kenapa-napa.” Aku menjawab pelan, lalu kemudian langsung menundukkan kepala di
atas meja sambil memejamkan mata. Malas sekali rasanya melihat Rama yang
tersenyum lebar itu.
“Pasti ada sesuatu!
Nggak mungkin tidak ada apa-apa Shinta?”
“Ha? Aku lagi malas
bicara ni, Ran. Maaf ya.”
Aku merasakan langkah
kaki Rani pergi meninggalkan tempat dudukku. Beberapa detik setelah Rani pergi,
mejaku terasa kembali bergoyang.
“Siapa lagi ni?”
tanyaku sedikit kesal. Begitu kubuka kedua mataku, wajah rama langsung muncul.
Begitu dekat. Mata kami bertemu. Ingin rasanya aku tersenyum, namun secara
spontan aku langsung mengangkat kepala dan beralih memandang sudut ruangan yang
lain.
“Kamu kenapa Shin?”
Rama bertanya ketus. Rama yang
seharusnya tidak mempedulikanku itu duduk di sebelahku.
“Apa urusanmu?”
“Aku cuma nanya aja!”
Rama berjalan meninggalkan tempat dudukku.
Aku bingung. Tidak
mungkin ia marah cuma karena aku tidak menjawab pertanyaannya. Tidak mungkin.
Aku tidak mempedulikan
dia yang tiba-tiba berubah sikapnya saat jam pelajaran berikutnya. Dia yang
biasanya selalu bertanya padaku saat latihan soal malah diam di tempat
duduknya. Sebenarnya aku tidak ingin mengajaknya bicara duluan. Namun ia hanya
duduk diam di tempat duduknya. Bahkan tidak mengerjakan latihan soal yang
diberikan guru.
“Rama! Udah selesai?”
sapaku mendekatinya.
“Belum. Nggak ngerti
aku.” Jawabnya datar tanpa menoleh ke arahku.
“Sini kubantu.”
Dengan wajah datar ia
bergerak mengambil alat tulis. Tanpa ekspresi.
“Dia kenapa?” pikirku
dalam hati.
***
“Aaaaaaaaaa...” aku
berteriak di kamar. Bukan karena ada tikus atau karena kakiku terjepit,
melainkan karena perasaanku sangat senang. Senang sekali rasanya, hingga ingin
berteriak dan berlompat-lompat di kasur kamarku.
Malam itu ruamhku
kosong, jadi aku merasa bebas untuk berteriak. Aku sangat senang, karena sms
yang kukirim dibalas oleh Rama. Sms dariku, yang menjadi saksi bahwa aku telah
mengungkapkan isi hatiku pada Rama, dan Rama ternyata juga memiliki perasaan
yang sama.
Aku merasa melayang,
karena hatiku sangat senang. Perasaan saat itu tidak tergambarkan oleh
kata-kata. Aku juga tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Aku benar-benar
terkejut bercampur senang.
Keesokan harinya, aku
tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Aku menceritakan semuanya pada Rani, yang
tahu tentang perasaanku dengan Rama. Begitu dia mengetahui semua yang kurasakan
tadi malam, seperti biasa, ia tidak bisa berhenti untuk menggodaku. Rani tersenyum
lebar.
Rama mengatakan padaku,
bahwa dia juga menyukaiku. Tetapi, sudah seminggu semenjak sms itu, kami lebih
banyak diam. Tidak seperti biasa, kami tidak bercanda dan mengobrol bebas saat
di dalam kelas.
“Nggak enak kayak
gini.” Aku berkata pelan pada Rani saat pulang.
“Gimana?”
“Dia menjauh Ran!”
“Eh? Dia lagi malu aja
nggak? Tunggu dulu, Shin...siapatahu besok dia mau langsung nembak?”
Tidak seperti biasa,
godaan Rani kali ini tidak membuatku lebih baik. Aku malah ingin menangis, dan
itu benar. Sepulang sekolah, sebelum makan siang, aku melampiaskan semuanya.
Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Wajah Rama muncul dalam benakku.
Aku berpikir bahwa
sebaiknya aku tidak perlu mengungkapkan perasaanku. Kalau begini, lebih baik
aku tahan saja, dari pada aku tidak bercanda lagi dengannya. Rama, dia begitu
sederhana dan polos. Kenapa aku bisa mengutarakan perasaan ini, tanpa ada
perubahan yang lebih baik. Rama...
***
“Aku ingin kami seperti
dulu lagi. Kalau kayak gini, bagus nggak perlu kukirim sms tu.”
“Sabar, Shin.” Rani
hanya berkata pelan, sangat singkat. Aku tahu, dia kehabisan kata untuk
menenangkanku.
“Shin...” secara tiba
tiba Rama muncul di hadapan kami berdua. Rani yang tadinya duduk di sebelahku
malah pergi meninggalkan kami berdua. Ia mengedipkan sebelah matanya sambil
tersenyum. Entah apa yang dia pikirkan. Kalau sampai ada hal memalukan yang
kuhadapi saat bersama Rama, aku akan dendam sekali padanya.
“Shinta?” Rama duduk di
tempat Rani duduk sebelumnya.
“Ya...” jawabku datar.
Aku gugup.
“Marah, ya?”
“Nggak ah!”
“Masa iya?”
“Iya...”
“Oh!” Rama diam,
bersandar di sebelahku.
“Ada perlu apa, Ram?”
“Hmm...aku malu, tapi
ini harus dikatakan.” Ia berhenti sejenak. Menarik nafas dalam. Aku gugup,
tidak berani menoleh. Apa? Apa yang ingin dia katakan? Apalagi? “Shinta, sebenarnya...kamu
mau nggak ....”
Pertanyaan indah itu
keluar dari mulut Rama. Suaranya bergetar, matanya berbinar penuh harap. Aku
terkejut, jantungku berdetak sangat cepat. Sungguh, aku tidak pernah menyangka
dia akan menanyakan hal itu secara langsung. Dia adalah orang pertama, dan
semoga aku tidak mengecewakannya.
“Iya, Rama... Tentu.”
Jawabku dengan suara parau.
Angin berhembus pelan
di jam istirahat waktu itu, menerbangkan beberapa helai daun yang gugur dari
pohon di halaman sekolah kami. Aku hanya diam, malu memulai pembicaraan yang
lain. Aku tidak punya topik yang bisa kami bahas di saat seperti ini.
No comments:
Post a Comment