Sahabat berarti
bersama, biarpun berbeda
Satu rasa, biarpun ada
perbedaan nada dalam melodi yang mengalun
Saling memiliki, saling
berbagi, meski terkadang ego melawan
Satu cita, ingin
mengisi kekosongan dan bersama disaat duka walau berbeda tujuan
Nindi meremukkan sebait
puisi yang dirobeknya dari buku harian beberapa hari lalu. Ia sedang duduk di
sebuah restoran cepat saji dekat sekolah, berusaha damai dengan rasa sedihnya.
Saat ini kata sahabat membuatnya sedikit muak.
Apanya yang menghadapi
masalah bersama? Apanya yang saling merasakan apa yang dirasakan teman lainnya?
Nindi kesal, muak, sudah lelah dengan semuanya. Ia lebih memilih untuk
menyendiri membaca buku di perpustakaan selama jam istirahat di sekolah
daripada duduk makan di kantin sendirian.
Ia tidak begitu ingat
kapan tepatnya kedua sahabatnya itu menjauh, bersikap aneh padanya. Ditanya ada
masalah apa, mereka menjawab tidak ada apa-apa. Anjani, sahabatnya yang paling
cerewet dan suka menggosip yang sudah dikenalnya sejak sekolah dasar, lebih
memilih duduk bersama teman-teman cheersnya daripada dengan Nindi atau
pun dengan Dila, perempuan pendiam dan cerdas yang baru mereka kenal di SMP.
Mereka masuk SMA yang sama, dan masih sering berdiskusi, bermain, atau menginap
sambil bercerita panjang lebar bersama di rumah salah seorang diantara mereka
sampai akhir tahun kedua mereka di SMA. Begitu mereka naik ke kelas dua belas,
Nindi hanya tidak mengerti kenapa Anjani sedikit menjaga jarak. Anjani lebih sering
diam jika pulang sekolah bersama atau duduk makan di kantin bersama Nindi dan
Dila.
Sikap diam Anjani yang
tiba-tiba tidak bertahan lama. Anjani bersikap terang-terangan diam di depan
Nindi dan Dila lantas langsung menjadi Anjani yang heboh dan cerewet saat duduk
bersama teman-teman cheers yang baru dikenalnya saat awal masuk SMA.
Lambat laun, Dila lebih
suka duduk di pinggiran kelas bersama teman-teman yang tingkat intelektual dan
kecerdasannya sama dengannya. Pembicaraan mereka hanya seputaran perkembangan
ilmu pengetahuan dan berita-berita umum yang menurut Nindi tidak penting untuk
dibahas. Semenjak itu jugalah, Nindi tidak bersemangat bergabung bersama Anjani
dan teman-temannya karena ia terlalu norak di sana dan tidak ingin bergabung
bersama Dila dan temannya yang lain karena ia selalu saja diam sebagai
pendengar sementara yang lain sibuk mengutarakan pendapat masing-masing.
Nindi menghembuskan
nafas pelan. Biarpun sudah dapat teman yang sejalan pemikirannya, seharusnya
mereka tetap saling menyapa atau sekedar bercerita singkat tentang apa saja.
Tapi kali ini tidak. Mereka hanya saling diam, tersenyum tanggung jika bertemu,
tidak saling mengajak makan atau belajar bersama.
Nindi menoleh ke luar
jendela kaca yang ada tepat di sebelah tempat duduknya. Ia sengaja memilih meja
yang ada di sudut. Siapa tahu melihat suasana di luar sana bisa sedikit
menenangkan batinnya. Menghilangkan rasa kehilangannya.
“Dila kamu kenapa?”
“Nggak ada apa-apa
kok.”
“Ayo cerita ke kami,
nggak boleh pendam-pendam sendiri.”
Percakapan-percakapan
lama itu terngiang dalam pikiran Nindi. Diam yang tidak berasalan seperti ini
justru membuatnya lebih ingin marah daripada jika Anjani atau Dila menceritakan
langsung padanya apakah dia ada berbuat salah atau tidak.
Persahabatan itu bukan
seperti ini. Ia benar-benar merasa kehilangan, tidak kuat menghadapi apa-apa
sendirian meski lambat-laun seharusnya sudah harus membiasakan diri. Ia merasa
lemah sekaligus sedih, seperti tidak mempunyai teman untuk menumpahkan
semuanya, bahkan rasa kesal pada sahabatnya sendiri.
Usy Izzani Faizti
dipublikasikan oleh Xpresi Riau Pos
Oktober 2012
Oktober 2012
No comments:
Post a Comment